Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

13 Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana atas Draf RUU Polri & Kelakarnya yang Banjir Tepuk Tangan

Ia memberikan setidaknya 13 poin catatan kritis terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan UU Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in 13 Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana atas Draf RUU Polri & Kelakarnya yang Banjir Tepuk Tangan
Tribunnews.com/Gita
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo (blus cokelat) bersama Menko Polhukam Marsekal Hadi Tjahjanto dan Deputi III Kemenko Polhukam RI Sugeng Purnomo di sela acara Dengar Pendapat Publik RUU Perubahan Tentang UU TNI dan UU Polri di Hotel Borobudur Jakarta pada Kamis (11/7/2024). 

Akan tetapi, bila hal tersebut menjadi kewajiban maka akan membelit-belitkan birokrasi (red tape birokrasi)

"Buat saya itu mengesankan sebagai prime investigator body. Jadi di atas semuanya. Padahal Jaksa, Pak Sugeng juga penyidik ya dalam kasus tindak pidana tertentu, tindak pidana khusus. Nah itu, padahal nanti hasil penyidikannya diserahkan juga ke Jaksa, tapi Jaksanya diperiksa dulu. Jadi ya mana ini? Menurut saya agak kesulitan," kata dia.

Sembilan, terkait dengan kewenangan polisi untuk melakukan penindakan pemblokiran, pemutusan, perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

Masalahnya, kata dia, yang pertama luasnya definisi ruang siber.

Kedua, dalam jurisprudensi terkait dengan konflik di Papua sudah terdapat putusan pengadilan yang menyatakan melarang pemutusan akses internet.

"Ini tolong diperhatikan juga. Jadi harus sangat spesifik. Kenapa ya langsung melakukan pemblokiran, penindakan itu? Di mana irisannya dengan Kemenkominfo? Dan apakah ini bisa langsung dilakukan oleh anggota Polisi sendiri? Tidak perlu misalnya adanya putusan pengadilan kalau mau memblokir. Ini kan sama dengan menyita ya kalau dalam barang-barang secara fisik," kata dia.

Selain itu, menurutnya harus disesuaikan dengan fungsi, kompetensi, dan otoritas dari kepolisian sendiri.

BERITA TERKAIT

Dengan demikian, kalau ketentuan tersebut dirumuskan sebagaimana dalam draf RUU Polri maka akan menimbulkan kesan bahwa polisi berada di atasnya lembaga lain yang menangani informasi dan telekomunikasi.

"Jadi ada potensi membatasi kebebasan berekspresi tadi. Saya tahu maksudnya mungkin bukan begitu, tetapi cara anda merumuskannya seakan-akan mau membatasi kebebasan berbicara berpendapat yang sekarang sudah, kok agak mulai-mulai ya. Buat saya agak repot juga ini," kata dia.

Sepuluh, terkait kewenangan polisi dalam melakukan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif (RJ).

Menurutnya, belum ada kesamaan pandang tentang apa itu restoratif justice baik di kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan.

"Oleh karena itu buat saya sebaiknya yang terbaik didrops saja ini. Karena kita belum punya UU tentang RJ. Sudah saya usulkan," kata dia.

Ke-11, ia mengkritisi pasal tentang kegiatan intelkam Polri.

Menurutnya, betul bahwa kegiatan intelijen keamanan Polri mengacu pada UU Intelijen Negara.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas