TB Hasanuddin Menilai Kehadiran DPA Justru Membuat Pemerintahan tidak Efektif & Efisien, Mengapa?
Hasanuddin menilai DPA yang akan dibuat setara dengan Presiden justru membuat persoalan baru.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Dewi Agustina
Lebih dari cukup ya?
Lebih dari cukup. Dan Pak Prabowo saya yakin mampu. Cukup lah begitu ya. Makin terlalu banyak yang menyarankan dan ikut cawe-cawe, makin membuat pusing nanti ya.
Justru itu tidak akan membantu membuat pusing ya?
Tidak akan efektif dan efisien. Malah tambah pusing nanti. Tambah pusing ya karena terlalu banyak pilihan nanti.
Pak TB, apapun bisa terjadi di negeri, wong syarat calon presiden saja bisa diubah. Kalau ini dipaksain untuk lolos lewat undang-undang gimana?
Menurut hemat saya kita harus punya banyak kesadaran ya. Saya selalu masih ingat pesan Bung Hatta, bahwa undang-undang, ada peraturan dan sebagainya, yang paling menentukan adalah para penyelenggara negara ini.
Jadi harus memiliki kesadaran yang baik, yang benar, untuk kepentingan rakyat, itu saja. Selama itu kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan golongan, kepentingan lain, bukan atas dasar kepentingan rakyat, maka kita akan terus saja begitu.
Begitu ada kesempatan gulirkan ini untuk ini. Begitu ada kesempatan gulirkan ini untuk ini, dan sebagainya. Saya mohon, stop lah.
Mari kita kembalilah ke jati diri kita. Sudah banyak diberi contoh oleh para pendahului bangsa.
Kalau hanya PDI perjuangan yang menolak, yang lain kompak jebol ini, jadi ini barang?
Saya mau tanya, kapan sih di Indonesia, kita melaksanakan sila keempat, ya, Pancasila, musyawarah untuk mufakat, kapan? Saya tanya balik. Nggak pernah. Ujung-ujungnya, voting saja.
Begitu dilihat, kalau voting menang, oke, lanjutkan. Oh, kalau voting kalah, ya udah gabung. Ya begitu saja. Artinya, suasana pengambilan keputusan voting itu, itu selalu menghantui. Nah, saya masih ingat, para senior saya dulu, musyawarah itu kalau tidak cukup satu jam, satu hari.
Sampai musyawarah mufakat. Tidak pernah, dan kalian jangan kemudian melemahkan minoritas, atau merasa kalian itu mayoritas, sudah, masuk saja ke voting. Wah, begitu.
Tirani mayoritas namanya?
Iya, begitu. Tidak boleh. Jadi harus terus diskusi-diskusi. Kalau tidak cukup sehari, dua hari. Tidak cukup dua hari, tiga hari.
Seminggu, kalau perlu sebulan musyawarah. Sehingga semua hasil musyawarah itu menghasilkan sesuatu yang diterima oleh semua kelompok. Nah, itu harus mulai diajarkan oleh saya.
Jadi nanti, kalau ini akan dibahas di dalam Baleg, pasti Pak TB Hasanuddin akan menolak rencana ini ya? Kan gitu kan? Kalau saya ambil kesimpulannya, apa namanya partai menolak rencana untuk memaksakan revisi undang-undang?
Ya, saya belum berdiskusi dengan fraksi dulu.
Oh, belum?
Belum. Karena kan saya belum, baru dapat surat. Tetapi ide-ide saya, dan, ya, fatsun aturan. Saya akan sampaikan ini lho, yang sesungguhnya aturan kalau mau dipakai. Tapi kalau misalnya mau yang lain, ya saya mungkin nggak ikutan.
Jadi nanti kalau partai ikut menyetujui, Pak TB nggak ikut-ikutan lah, kira-kira gitu?
Dalam hati mungkin ya. Tapi kan kita harus berprinsip. Saya akan berbicara kepada siapapun, oke, apapun itu kebaikan, kita laksanakan sesuai prosedur.
Termasuk kepada partai nantinya ya, untuk menyampaikan pandangan Pak TB bahwa ini nggak bisa hanya lewat undang-undang. Karena prinsipnya, prinsip ketahanan negaraannya begitu kan?
Iya, begitu.
Nah, Pak TB kalau melihat situasi semacam ini di waktu kita yang pendek. Lebih baik dilakukan oleh DPR periode berikutnya yang punya waktu lebih panjang, dan lebih fresh. Apakah Wantimpres itu sendiri perlu nggak sih direvisi?
Nah, kalau pertanyaan itu, jauh-jauh hari, tidak ada urgensinya. Masih banyak merevisi pelaksanaan undang-undang. Lebih baik yang kita revisi mengapa kita membeli beras tidak dari petani tetapi malah impor beras dari Vietnam.
Jadi ini menurut Pak TB sebenarnya nggak ada urgensinya. Nggak terlalu penting?
Kalau ini tidak diubah pun negara tidak akan bubar jadi untuk siapa. Kecuali kalau ini tidak diganti menjadi DPA, kita akan stagna Republik ini. Enggak lah, jangan hanya untuk kepentingan satu, dua orang.
Tapi ini bukan karena Pak TB sekarang menggunakan modul oposisi, enggak ya?
Saya enggak pernah mengenal oposisi. Sistem kita, sistem presidensial, ya. Ya mungkin berbeda pendapat tapi dari dulu selalu saya bahwa mengkritisi, ya ini undang-undangnya begini.
Artinya bukan berarti yang mengkritisi itu oposisi, gitu?
Enggak lah, saya siapapun yang kurang pas ya, saya kritisi. Itu kewajiban konstitusi saya sebagai anggota DPR. (Tribun Network/Reynas Abdila)