Kementerian Agama Gelar Ketoprak Sunan Gunung Jati: Perkuat Moderasi Beragama dan Budaya
Kementerian Agama menggelar Pementasan ketoprak bertajuk "Wo Ai Ni di Gunung Jati".
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pementasan ketoprak bertajuk "Wo Ai Ni di Gunung Jati" digelar oleh Kementerian Agama di Bidakara, Jakarta.
Acara ini menampilkan kisah Sunan Gunung Jati, salah satu Walisongo, yang mengisahkan perjuangannya dalam membangun harmoni antara budaya dan agama.
Pentas ini disutradarai oleh Agus Marsudi, sedangkan tokoh diperankan Anwar Sanusi sebagai Sunan Gunung Jati, Wida Sukmawati sebagai Nyimas Pakungwati), dan bintang tamu spesial Ayu Azhari sebagai Nyi Ageng Suropati.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, mengungkapkan pentingnya seni ketoprak dalam perjalanan sejarah bangsa.
“Ketoprak adalah cermin budaya yang memantulkan kearifan lokal serta nilai-nilai luhur yang harus terus diwariskan. Ketoprak juga mengajarkan kita tentang kebijaksanaan, cinta, pengorbanan, kebenaran, dan keadilan yang tak lekang oleh zaman," ungkap Kamaruddin.
Ia menjelaskan, Sunan Gunung Jati yang bernama asli Syarif Hidayatullah menggunakan budaya sebagai medium dakwah.
Seni ketoprak, katanya, mengemban peran serupa dalam menyemai nilai-nilai moderasi beragama, yang mengajarkan harmoni, penghargaan terhadap perbedaan, dan kebhinekaan sebagai kekuatan bangsa.
"Ketoprak menjadi sarana untuk menyatukan hati, menanamkan kesadaran bahwa dalam perbedaan ada persamaan yang menyatukan kita sebagai umat manusia," jelasnya.
Pada pentas tersebut, para tamu undangan tidak hanya menyaksikan sebuah pertunjukan, tetapi juga peradaban yang hidup dan bernapas melalui seni ketoprak.
Hal ini, kata Kamaruddin, budaya dan agama dapat berjalan beriringan, saling memperkaya, dan saling menguatkan, membentuk peradaban yang beradab dan berbudaya.
“Inilah pentingnya melestarikan seni tradisional seperti ketoprak agar nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat terus diwariskan kepada generasi mendatang,” ucap Kamaruddin.
Sementara itu, Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Zayadi, menyoroti tema ‘Wo Ai Ni di Gunung Jati’ menggambarkan eratnya hubungan antara kebudayaan dan ajaran agama.
“Pentas ketoprak ini adalah wujud nyata dari pelestarian budaya nusantara yang kaya akan nilai-nilai luhur dan menjadi sarana edukasi dalam menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritual,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan bahwa persiapan pentas ini melibatkan penggalian data mendalam mengenai sejarah dakwah Sunan Gunung Jati, dengan konsultasi dari ahli sejarah, filolog, dan budayawan.
“Latihan intensif selama dua bulan oleh para pemain ketoprak menunjukkan komitmen tinggi mereka untuk memberikan penampilan terbaik. Mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pencerahan tentang pentingnya merawat kebudayaan dan mengedepankan moderasi dalam beragama,” ungkap Zayadi.
Dikisahkan, sebagai raja, Sunan Gunung Jati dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan adil.
Ia memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan berupaya menjaga kerukunan serta stabilitas di wilayahnya.
Pada saat itu, Cirebon menjadi kota yang plural, mengingat penduduknya bukan hanya dari Jawa dan Sunda saja, tetapi juga dari China dan Arab.
Sebagai tokoh wali dengan nama asli Syarif Hidayatullah, ia menggunakan pendekatan yang menggabungkan antara ajaran Islam dengan budaya lokal.
Ini termasuk seni, adat istiadat, dan bahasa setempat sehingga ajaran Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Salah satu sikap toleran yang menunjukkan hal itu adalah, ia mengizinkan pendirian tempat ibadah klenteng, di wilayah kekuasaannya.
Tidak hanya memberikan izin, Sunan Gunung Jati juga menyumbangkan kayu sebagai tiang penyangga bangunan klenteng tersebut.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.