Amnesty International Indonesia: Hentikan Brutalitas Polisi!
Amnesty International Indonesia nilai tindakan polisi brutal dalam menghadapi demonstrasi Kamis 22 Agustus hingga Senin 26 Agustus 2024.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai tindakan polisi brutal dalam menghadapi demonstrasi sejak Kamis 22 Agustus hingga Senin 26 Agustus 2024.
Ia mengatakan tindakan kepolisian dalam menyikapi demonstran di sejumlah wilayah Indonesia sulit untuk ditoleransi.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi rangkaian kekerasan dan tindakan represif polisi dalam menghadapi demonstrasi sejak Kamis 22 Agustus hingga Senin 26 Agustus 2024.
"Sekali lagi, satu kata: brutal! Kekerasan yang kembali dilakukan aparat keamanan sulit untuk ditoleransi. Penggunaan gas air mata yang tidak perlu dan tidak terkendali hingga pemukulan menyebabkan banyak korban sipil, termasuk anak-anak di bawah umur," kata Usman dalam keterangan resmi Amnesty International Indonesia pada Selasa (27/8/2024).
Menurutnya tindakan tersebut jelas melanggar hak asasi manusia dan berbahaya bagi keselamatan warga, terutama anak-anak yang terkena dampaknya.
Keseluruhan peristiwa dan tindak kekerasan aparat keamanan yang terjadi sejak Kamis 22 Agustus hingga Senin 26 Agustus kemarin, kata dia, mengarah pada pilihan kebijakan yang sistematis untuk meredam suara mahasiswa dan masyarakat.
Menurutnya terlihat jelas pola keberulangan.
Apalagi, kata dia, hal tersebut bukan pertama kalinya terjadi.
"Baru pekan lalu kita saksikan brutalitas itu. Kini berulang kembali," kata dia.
Baca juga: Demo di Semarang Ricuh, Warga Dekat Lokasi Kericuhan Rasakan Efek Gas Air Mata meski di Dalam Rumah
Sepanjang pemerintahan Jokowi, menurutnya pengerahan kekuatan yang berlebihan kerap menjadi jawaban bagi berbagai protes warga.
Protes tersebut, lanjut dia, mulai dari aksi Reformasi Dikorupsi, protes UU Cipta Kerja, protes warga Air Bangis di Sumatera Barat dan Rempang-Galang di Batam, hingga protes warga Dago Elos di Bandung.
Saat akuntabilitas atas penyimpangan aparat tidak kunjung dipenuhi, kata dia, muncul kesan bahwa aparat memaklumi atau bahkan mengizinkan dan membenarkan penggunaan kekuatan berlebihan, kekerasan yang tidak perlu serta tindakan represif lainnya.
Selain itu menurutnya pilihan kebijakan itu juga terlihat di berbagai wilayah di mana aparat keamanan tampak melakukan serangan terhadap warga sipil yang sedang melakukan aksi protes damai.
Bentuk serangan tersebut, lanjut dia, mulai dari praktik intimidasi, serangan fisik, penyiksaan dan perlakuan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Dengan demikian, menurutnya seluruh peristiwa tersebut menurut sifat dan lingkupnya dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.
"Karena itu, kami mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan kebijakan represif yang sistematis dan meluas tersebut," kata dia.
"Jika Kapolri enggan mempertanggungjawabkan dampaknya, dan itu terlihat dengan belum adanya langkah nyata yang menegaskan sikap Kapolri untuk memastikan akuntabilitas ditegakkan, yaitu mengajukan anggotanya yang terlibat peristiwa represif tersebut akan dibawa proses hukum dan pengadilan," sambung dia.
Baca juga: Jokowi Minta Demo soal RUU Pilkada Tertib dan Damai Supaya Tak Ganggu Aktivitas Warga
Selain itu, pihaknya juga mendesak Komnas HAM segera melakukan penyelidikan projustitia terhadap peristiwa tersebut.
Hal tersebut, lanjut dia, termasuk memanggil Kapolri dan meminta keterangannya atas keseluruhan tindakan kepolisian di berbagai wilayah kepolisian daerah.
"Polisi juga harus membebaskan semua peserta aksi yang masih ditahan dengan segera tanpa terkecuali," kata dia.
"Kepada pemerintah, kami juga menekankan pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak warga negara dalam menyuarakan aspirasi mereka," sambung dia.
Catatan Amnesty
Sumber kredibel Amnesty dari LBH Semarang mengungkapkan aksi represif yang dilakukan aparat kepolisian ketika menghadapi aksi demonstrasi mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil di Kota Semarang pada Senin (26/8/2024).
Aksi tersebut beragendakan mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang (UU) Pilkada dan mengritik sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi.
Rencana aksi awal adalah di depan kantor DPRD Jawa Tengah.
Akan tetapi karena pengamanan oleh aparat yang berlebihan dengan pengerahan pasukan 1.000 lebih personil dan menutup hampir seluruh jalur evakuasi akhirnya massa aksi memutuskan bergeser titik aksi ke depan kantor DPRD Kota Semarang (Balai Kota).
Baca juga: Anak-anak Ikut jadi Korban, KPAI Kecam Penggunaan Gas Air Mata Saat Demo di Semarang Ricuh
Sumber Amnesty mencatat pada jam 13.30 WIB, massa aksi mulai kumpul di depan Balai Kota.
Selain itu, ada sekitar 1.000 massa aksi mendatangi kantor balai kota.
Sementata itu, pasukan kepolisian sudah berjaga di dalam pintu masuk kawasan Balai Kota.
Kemudian, pada jam 16:00 massa aksi mencoba memasuki Balai Kota Semarang namun terus diadang oleh aparat kepolisian.
Sumber Amnesty menyatakan proses pengadangan dilakukan dengan represif ke massa aksi, sehingga memicu keributan.
Kemudian pada 16.30, setelah massa aksi melakukan salat bersama, aparat kepolisian bersenjata lengkap membawa mobil water canon dan berulang kali menyemprotkan air.
Sumber Amnesty menyatakan aparat kepolisian mulai menembaki gas air mata, membuat massa aksi mundur dan berlarian.
Selanjutnya, pada jam 18.00 WIB, aparat mulai mengancam akan melakukan pembubaran dengan alasan batasan jam untuk melakukan aksi.
Sumber Amnesty juga menyatakan beberapa kali aparat memukul massa aksi yang berada di depan ketika mendorong mencoba masuk.
Sumber Amnesty menyatakan pada sore itu sekitar delapan orang peserta aksi mengalami bocor kepala karena kena pentungan polisi.
Selain itu, banyak massa aksi terjebak di beberapa gedung, puluhan dari mereka pingsan dan luka-luka.
Sumber Amnesty juga menyatakan aparat terus maju ke arah massa aksi, sampai mereka terdorong di depan Mal Paragon.
Namun, polisi terus menembaki gas air mata bahkan masuk ke perkampungan warga, dan banyak anak yang sedang mengaji terkena gas air mata.
Amnesty menyatakan keterangan tersebut juga diperkuat laporan-laporan media di lokasi saat polisi mulai menembakkan gas air mata dan water cannon pukul 18.26 WIB.
Menurut laporan media yang dicatat Amnesty, lebih dari 10 gas air mata ditembakkan ke peserta aksi yang bergerak ke arah Mal Paragon.
Kemudian, sekira pukul 19.40, kesulitan kian melanda massa aksi, karena tabung oksigen habis dan jumlah ambulan terbatas.
Selain itu, beberapa gedung tempat massa aksi terjebak dijaga oleh kepolisian sehingga ambulan sulit masuk.
Amnesty mencatat malam itu puluhan massa aksi ditangkap oleh kepolisian dan diarahkan ke markas Polrestabes semarang.
Amnesty menyatakan Tim hukum Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) sedang mendampingi korban di Polrestabes, namun hingga saat ini belum diberikan akses bantuan hukum oleh RESMOB unit V dengan alasan tidak jelas.
Amnesty juga mencatat Kapolrestabes Semarang di depan Polrestabes melarang massa aksi untuk bersolidaritas kepada kawan-kawan yang ditahan.
Menurut data yang sementara ini berhasil dihimpun Amnesty, terdapat setidaknya 32 orang dari massa aksi yang ditangkap polisi.
Mereka terdiri dari 22 pelajar, sembilan mahasiswa, dan seorang lagi pengemudi ojek online.
Selain itu, Amnesty juga mencatat sedikitnya 33 korban aksi represif aparat dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Amnesty juga mencatay tim hukum GERAM mengecam Kapolretabes Semarang yang menghalang-halangi hak bagi korban untuk mendapatkan bantuan hukum serta represifitas yang telah dilakukan oleh aparatnya.
Pada hari ini (27/08) di Kota Semarang dijadwalkan demonstrasi “Geruduk Polrestabes Semarang” dengan menuntut pembebasan atas 30-an massa aksi yang ditangkap aparat dan sampai saat ini belum dibebaskan dan belum boleh didampingi oleh tim pendamping hukum GERAM.
Sikap Komnas HAM
Komnas HAM menyatakan pihaknya mencermati bahwa gelombang aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah semakin memanas di antaranya yang terjadi Makasar dan Semarang, hingga pada Senin (26/8/2024) malam.
Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro menyatakan berdasarkan informasi yang didapatkan aparat keamanan telah menggunakan gas air mata, melakukan penangkapan terhadap peserta aksi, serta diduga melakukan sweeping hingga masuk ke area mall.
Atnike menegaskan penggunaan kekuatan berlebih dan/atau kekerasan dalam menangani aksi demonstrasi berisiko melanggar HAM.
Baca juga: Ditangkap Polisi Saat Demo di DPR, Anak Jenderal TNI Ini Mengaku Tak Mau Gunakan Nama Besar Ayah
Khususnya, lanjut Atnike, dalam hal ini pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berkumpul secara damai serta hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin konstitusi dan UU HAM.
Oleh karena itu, ia menyatakan Komnas HAM mendesak aparat keamanan untuk tidak menggunakan tindakan kekerasan dalam menjaga keamanan, dan justru mengedepankan pendekatan yang lebih humanis dan terukur dalam penanganan aksi demonstrasi.
"Komnas HAM mendesak Kapolda Jawa Tengah dan Kapolda Sulawesi Selatan untuk melakukan evaluasi atas dugaan penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan dalam menangani dan membubarkan aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat umum," kata dia dalam rilis media Humas Komnas HAM RI pada Selasa (27/8/2024).
Selain itu, kata Atnike, Komnas HAM juga mendesak aparat penegak hukum untuk memberikan hak atas akses bantuan hukum bagi peserta aksi yang ditangkap.
Atnike mengatakan menghalangi warga untuk mendapatkan akses bantuan hukum berisiko melanggar HAM, yakni hak atas keadilan.
"Komnas HAM mendorong semua pihak untuk menggunakan hak asasinya untuk berkumpul dan berpendapat secara bertanggung jawab dan menjaga agar situasi keamanan tetap kondusif, untuk merawat ruang demokrasi bangsa baik saat ini maupun di masa depan," kata dia.
Polisi Diduga Pukuli dan Tangkap Pelajar Tak Bersalah
Diberitakan sebelumnya, seorang anak SMK Negeri 5 Semarang berinisial G diduga dibawa polisi meskipun tidak terlibat aksi demonstrasi.
Menurut kesaksian warga dan video yang sempat direkam warga, tampak anak tersebut memberontak ketika hendak dibawa oleh polisi.
Saksi mata sekaligus teman korban, Fadil, mengatakan korban dibawa polisi ketika menyaksikan aksi demonstrasi di Jalan Pemuda atau depan Balai Kota Semarang.
Fadil dan korban mengaku melihat aksi demo itu karena diajak temannya.
"Diajak teman untuk lihat demo, saya bilang ke korban jangan lihat dekat-dekat tapi dia nekat lihat di pinggir jalan (halte BRT depan gang Bedagan) akhirnya dikira ikut demo," kata dia.
Dia yang tidak melihat terlalu dekat akhirnya bisa melarikan diri ke arah dalam gang Bedagang, Sekayu, ketika polisi mengarah ke jalan tersebut.
Namun korban G ditangkap oleh polisi.
Baca juga: Hari Ini Polisi Panggil Orang Tua dari 22 Pelajar SMK yang Ditahan Buntut Demo di Semarang
Dalam rekaman video warga, tampak enam polisi berbaju sipil mengangkat tubuh korban secara paksa.
Korban yang masih mengenakan seragam putih abu-abu tampak memberontak.
Korban meninggalkan motor Astrea di depan rumah warga yang kini hendak diambil oleh teman-temannya.
"Motornya mau kami bawa pulang," kata Fadil.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengaku melihat beberapa polisi melakukan pemukulan ke G pelajar SMK yang dibawa polisi.
"Saya tahu itu pelajar karena pakai seragam. Saya dilihat dia dipukuli otomatis kita tak tega terus kita bilang ke polisi pakai baju preman, pak jangan pukuli, itu anak kecil," kata dia.
Selepas diprotes warga, pelajar G berhenti dipukuli lalu dibawa ke arah Balai Kota.
"Kita baru tahu motornya pelajar itu ketinggalan saat temannya datang ke sini," kata dia.
Sebelumnya, sebanyak 27 pendemo dibawa ke Mapolrestabes Semarang, Senin (26/8/2024) malam.
Puluhan pendemo ini meliputi 21 pelajar SMA.
Sisanya, 6 orang mahasiswa dari berbagai kampus.
Namun, data masih bersifat sementara lantaran kuasa hukum belum dapat menemui para pendemo yang ditangkap.
"Kami sampai malam ini belum mendapatkan menemui para pelajar yang ditangkap," ujar kuasa hukum dari Gerakan Rakyat Menggugat, Tuti Wijayanti di Mapolrestabes Semarang.
Selain 26 pendemo yang ditangkap, pihaknya mencatat ada sebanyak 40 pendemo alami luka-luka hingga dilarikan ke sejumlah rumah sakit di antaranya RS Roemani dan RSUP Kariadi Semarang.
"Luka paling parah 5 orang kepala bocor kena pentungan. Sisanya kena dampak gas air mata," tuturnya.
Semetara, Wakapolda Jateng Brigjen Agus Suryonugroho sempat menemui para pelajar SMK yang ditangkap Polrestabes Semarang di ruangan penyidik Jatanras.
Dia didampingi Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Kombes Dwi Subagio.
Ketika Tribun hendak wawancara, Wakapolda menolak dan mengarahkan ke Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar.
Namun, Kombes Irwan melakukan hal serupa.
Polisi Juga Jadi Korban
Diberitakan sebelumnya terdapat polisi yang turut menjadi korban dalam kericuhan tersebut yakni Wakasat Intel Polrestabes Semarang.
Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar mengatakan terlukanya Wakasat Intel tersebut, kata Irwan berawal dari pelemparan batu yang dilakukan oleh pelajar ke arah polisi.
"Kami sayangkan mengapa adik-adik mahasiswa melibatkan siswa-siswi dari STM. Yang mereka provokasi, datangnya kurang lebih 18.00 WIB setelah magrib," kata dia pada Senin (26/8/2024).
"Adik-adik STM datang, entah dari mana melakukan pelemparan," sambung dia.
Dia mengatakan, petugas masih melakukan inventarisir berapa massa yang diamankan dan berapa korban akibat aksi pelemparan yang dilakukan saat demonstrasi.
"Tadi teman-teman menyaksikan bagaimana adik-adik kita melakukan pelemparan batu, paving, kayu. Ada beberapa korban. Bahkan, Wakasatintel Polrestabes terkena tombak pipi kanan," kata dia.
"Kami masih inventarisir apakah ada korban lain selain Wakasatintel baik petugas maupun mahasiswa. Mudah-mudahan tidak ada korban lagi," sambung dia.
Di sisi lain, Irwan mengungkapkan personel yang dikerahkan untuk mengatasi kericuhan yang terjadi sejumlah 1.541 orang yang berasal dari polres sekitar Semarang dan Polda Jateng.