Komisi XI DPR Kritik Pembatasan Produk Tembakau di RPMK: Pemerintah Lupa Kontribusinya
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengkritik wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek bagi produk tembakau yang tertuang dalam RPMK.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengkritik wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek bagi produk tembakau yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Misbakhun menilai, kebijakan tersebut bukan hanya tak konstitusional, tapi juga merugikan kepentingan nasional.
Menurutnya rencana Kemenkes dalam menerapkan kemasan polos bagi produk tembakau akan berdampak langsung pada perekonomian negara, di mana selama ini cukai hasil tembakau (CHT) diklaim telah menyumbang ke negara hingga Rp300 triliun.
Pemangku kebijakan dipandang luput melihat dampak signifikan terhadap sisi ekonomi.
“Dampak ekonomi yang signifikan ini malah menjadi sesuatu yang luput untuk dilihat oleh para pemangku kebijakan, sehingga saya melihat ini adalah pendekatan yang tidak seimbang. Rokok menyumbang Rp300 triliun kepada negara setiap tahunnya, itu sangat signifikan untuk anggaran nasional kita,” ujar Misbakhun kepada wartawan, Selasa (10/9/2024).
Politikus Partai Golkar ini pun mempertanyakan bagaimana kebijakan kemasan polos itu bisa dipertimbangkan untuk masuk dalam RPMK.
Padahal kebijakan tersebut jelas mengabaikan kepentingan petani dan pedagang yang bergantung pada industri hasil tembakau.
Misbakhin juga mengkritisi siapa pihak yang mendorong kebijakan sarat polemik ini. Sebab, penggodokannya dinilai menjadi bentuk dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan segelintir negara-negara untuk mengendalikan tembakau.
"Yang mengganggu itu apa sih? FCTC. Mereka inilah yang melakukan determinasi untuk memberikan global influence. Mereka disponsori oleh siapa?" tegas dia.
Calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini menyebut, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan seharusnya berani mengambil sikap untuk mengedepankan dan melindungi petani, pedagang, berbagai penggerak roda ekonomi yang berjalan dan menggantungkan diri pada industri tembakau.
Terlebih jika ditilik dari aspek ekonomi, negara menerima pendapatan sekitar Rp300 triliun setiap tahun dari cukai tembakau. Sektor ini pula yang mempekerjakan banyak orang.
“Kita sering lupa untuk memperhitungkan aspek ekonomi. Negara mendapatkan pendapatan besar dari cukai tembakau, sekitar Rp300 triliun setiap tahun, dan sektor ini juga mempekerjakan banyak orang. Namun, tidak ada satu pun dukungan konkret,” ungkapnya.
Lebih lanjut Misbakhun memandang rencana untuk menghilangkan merek rokok dan hanya menggunakan kemasan polos adalah wacana yang tidak rasional. Pasalnya, penggunaan kemasan polos yang seragam dan generik akan membuat pengawasan dan penegakan hukum menjadi kian sulit.
“Bea Cukai tidak dirancang untuk menangani masalah ini. Standardisasi kemasan polos mungkin bagus untuk perdebatan, tapi kurang efektif jika diterapkan secara langsung tanpa dukungan yang jelas,” kata Misbakhun.
Selain itu, selama ini kampanye kesehatan tidak berhasil secara signifikan membantu para perokok untuk berhenti. Jika pemerintah terus menggunakan cara yang sama tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan penegakan hukum, ia khawatir yang terjadi ke depan adalah meningkatnya rokok ilegal dan kerugian negara yang lebih besar.
“Puluhan tahun kita mencoba cara yang sama. Kenapa kita masih menggunakan hal yang sama? Cara yang sama tapi ingin hasilnya berbeda. Akhirnya yang terjadi itu adalah rokok ilegal, dan ini disangkal sepenuhnya oleh pemerintah. Maka dari itu menurut saya, PP yang membatasi ini, ini tidak bagus di sektor industri dan ekonomi,” pungkasnya.