Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perempuan Adat Sihaporas Menangis Ceritakan Trauma Anak-anak terhadap Teror dari Polisi

Tomson Ambarita saat ini ditahan oleh pihak kepolisian setelah sebelumnya ditangkap dan dianiaya oleh sekira 50 orang tak dikenal

Penulis: Gita Irawan
Editor: Dodi Esvandi
zoom-in Perempuan Adat Sihaporas Menangis Ceritakan Trauma Anak-anak terhadap Teror dari Polisi
Tribunnews/Gita Irawan
Perempuan Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Mersi Silalahi, saat Konferensi Pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terkait Perlindungan dan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat di Dolok Parmonangan dan di Sihaporas di Kantor Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Jakarta pada Rabu (11/9/2024). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Suara Perempuan Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Mersi Silalahi, bergetar menceritakan nasibnya dan keluarganya yang berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Ia menangis ketika menceritakan nasib suaminya dan anak-anaknya.

Sampai hari ini sudah hampir tiga minggu ia tak menemui kelima anaknya di kampungnya di Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, karena mencari keadilan bagi keluarga dan masyarakat di kampungnya.

Mersi menceritakan, suaminya yakni Tomson Ambarita saat ini ditahan oleh pihak kepolisian setelah sebelumnya ditangkap dan dianiaya oleh sekira 50 orang tak dikenal pada Senin (22/7/2024) dini hari lalu.

Belakangan diketahui mereka yang melakukan penangkapan terhadap suaminya dan ketiga rekannya itu adalah pihak kepolisian dari Polres Simalungun.

Mersi bercerita, kejadian pada pagi buta tersebut adalah kali kedua suaminya ditangkap oleh pihak kepolisian.

BERITA REKOMENDASI

Penangkapan suaminya itu, kata Mersi, tidak hanya berdampak pada ekonomi keluarga mengingat Tomson adalah tulang punggung keluarga.

Baca juga: Buka Pameran Tanah Ulayat, Menteri AHY Bicara Komitmen Pada Hak Masyarakat Adat

Dengan suara bergetar, Mersi mengatakan keduanya memiliki lima orang anak di mana anak pertama mereka telah tamat SMA.

Anak pertamanya tersebut terpaksa harus menunda cita-citanya untuk berkuliah karena ayahnya dipenjara.

Selain itu, kata dia, anak kedua mereka masih duduk di kelas 2 SMA, anak ketiga kelas 3 SMP, anak keempat kelas 2 SMP, dan putri bungsunya masih duduk di kelas 5 SD.

Hal itu dikisahkannya saat Konferensi Pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terkait Perlindungan dan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat di Dolok Parmonangan dan di Sihaporas di Kantor Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Jakarta pada Rabu (11/9/2024).


"Dan yang membuat jadi teringat itu ke putri saya yang masih SD, saya di sini sudah hampir tiga minggu. Saya tidak tahu apakah anak saya itu dengan layaknya pergi ke sekolah. Apakah dia mandi, apa dia makan, saya titipkan sama keluarga," ungkap Mersi menahan tangis.

"Di mana anak saya ini waktu 2019 juga mengalami hal yang sama. Di mana anak saya yang kecil itu waktu itu masih TK. Dia sudah mengalami tekanan mental yang sangat serius. Di mana kedua kali ini, bapaknya dipenjara. Dan saya di sini, saya tinggalkan mereka. Kadang mereka telepon kapan mamak pulang? Dan saya jawab nantilah saya kabari," sambung dia.

Mersi mengaku datang ke Jakarta untuk mencari keadilan.

Ia bersama sejumlah orang dari komunitas masyarakat adat di Dolok Parmonangan dan Sihaporas menyambangi beberapa kementerian dan lembaga negara untuk mengadukan apa yang dialaminya dan warga di kampungnya.

Baca juga: Kepala Suku Ondoafi hingga Masyarakat Adat Tanah Tabi Papua Minta Presiden Kembali ke UUD 1945

Mersi mengatakan mendatangi lembaga negara dan pemerintah pusat untuk memperjuangkan hak-hak dasar hidupnya, keluarganya serta masyarakat di kampung adatnya.

"Kami sangat-sangat membutuhkan ibaratnya ruang kerja kami itu sepenuhnya untuk menghidupi anak kami. Di mana suami kami yang menjadi tulang punggung keluarga itu sudah dipenjara. Itu akibat dari ulah TPL dan Kepolisian," kata dia.

Sambil menahan tangis, Mersi menceritakan kronologi penangkapan terhadap empat orang masyarakat adat di kampungnya termasuk suaminya pada tanggal 22 Juli 2024 lalu.

Saat itu, kata dia, suaminya bersama tiga temannya, seorang ibu-ibu, dan dua anak tengah tertidur di posko keamanan mereka yang berjarak sekira 8 Km dari perkampungan penduduk.

Pada dini hari, kata Mersi, mereka didatangi kurang lebih 50 orang dari gerombolan.

"Kita tidak tahu mereka dari mana karena mereka menggunakan pakaian preman (sipil). Mereka memaksa pintu rumah kita itu sampai jebol. Dan mereka berteriak diam jangan bergerak. Mereka ditendangi. Mereka dipukul. Mereka disiksa dan disetrum," kata Mersi yang tak kuasa menahan tangis.

"Dan ada juga ibu yang di sana yang ikut berjaga di sana. Ibu itu disiksa diborgol dan ditodongkan pistol. Dan anak yang berumur 10 tahun dan 8 tahun dibenturkan ke dinding, dipiting, dan diancam 'diam kau nanti, kumatikan kau nanti!'," lanjut Mersi.

Awalnya, kata dia, ia dan masyarakat kampungnya tidak mengetahui gerombolan tersebut dari mana.

Baca juga: Masyarakat Adat Kaltim Siap Sukseskan Peringatan HUT ke-79 RI di IKN

Hal itu, kata dia, mengingat gerombolan itu datang pada dini hari di waktu orang-orang tertidur.

Setelah sekira pukul 15 atau 16 sore, kata dia, kemudian ada konferensi pers dari Polres Simalungun dan diketahui bahwa suaminya beserta tiga rekannya sudah ditahan di sana.

"Dan kami juga berkunjung di sana. Dan saya melihat suami saya mukanya babak belur dan bengkak-bengkak. Mereka disiksa, padahal selama ini saya, kami keluarga, tidak pernah mendapatkan surat panggilan, dan mendapatkan surat penangkapan," kata dia.

"Itulah yang menjadi kekesalan kami, kenapa harus subuh-subuh di mana orang tidur? Di situ kepolisian datang kenapa tidak siang? Kalau siang kita tahu siapa yang datang. Dan itulah yang meresahkan kami. Kami datang ke sini untuk mencari keadilan. Semoga instansi-instansi negara mendengarkan apa keluhan kami," sambung dia.

Atas perlakuan tersebut, ia merasa Polres Simalungun tidak mengayomi mereka dan hanya mengayomi pihak PT TPL.

"Karena kami tahu juga, pasca penangkapan daripada suami kami, kami itu diteror dengan drone dan juga ada segerombolan orang itu sampai 10 mobil datang ke lokasi kami. Tapi begitu kami keluar dari posko kami, mereka kabur dengan mencekam sekali. Dan kami merasa itu adalah dari aparat negara dan dari TPL," kata dia.

Setelah, kata dia, ia bersama warga komunitas adat berjaga di posko keamanan selama 24 jam.

Saat itu, kata dia, ia dan warga lainnya merasa diintai.

"Sepertinya ada cahaya senter, dan drone itu akan mengintai kami setiap malam. Dan saya di sini hampir 3 minggu. Setiap sore saya akan kontak dengan teman-teman di kampung, bagaimana keadaan saya. Dan mereka mengatakan itu drone masih terus mengintai," kata dia.

Bahkan, kata dia, empat hari lalu, ia mendengar laporan dari warga ada anggota Brimob yang datang ke sana.

Mereka pun kini ketakutan setiap polisi datang ke kampung mereka.

Baca juga: Soal Program Pemerintah Wujudkan Lumbung Pangan Nasional di Merauke, Begini Sikap Masyarakat Adat

"Itu menjadi suatu trauma yang tersendiri bagi kami. Di mana kami merasa dari kepolisian itu datang untuk menangkap kami. Anak-anak juga merasa trauma," kata Mersi sambil menangis.

Anak-anak di kampungnya, kata dia, bersekolah di dekat kantor kepala desa.

Anak-anak, kata dia, kerap melihat pihak kepolisian mendatangi kantor kepala desa tersebut.

"Dan anak-anak pasti melihat dia (personel kepolisian). Begitu anak-anak nanti pulang sekolah, pasti mereka, dari pemikiran mereka setiap mereka melihat polisi, bagaimana keadaan orang tua kami di sana (yang berjaga di pos keamanan kampung)," kata dia.

"Apakah aman orang tua kami di sana? Pasti begitu pemikiran mereka. Makanya setelah pulang nanti dari sekolah, ada nanti masih jumpanya orang tua di kampung, pasti akan bercerita. Tadi kami ada nampak polisi, ada sesuatu yang terjadi kah di sana? Pasti akan ditanyakan anak-anak yang masih SD," sambung dia.

Di samping itu, setelah kejadian penangkapan suaminya itu, sebagai perempuan adat ia harus berjaga 24 jam di posko keamanan tersebut.

Sementara anak-anaknya, ia tinggalkan di rumah yang berada di pemukiman penduduk, 8 Km jauhnya.

"Dan kadang karena kesibukan berjaga di sana, karena kami juga sering, karena dari kepolisian itu sering mengintai kami. Kami itu harus berjaga di sana 24 jam. Dan kadang saya itu bisa bertemu dengan anak saya itu paling cepat sekali 3 hari, dan kadang sekali seminggu," kata Mersi sambil menangis.

Mersi mengaku merasakan adanya ketidakadilan perlakuan yang diterima dirinya dan warga kampung adatnya dari pihak kepolisian.

Selama ini, kata dia, tidak hanya sekali warga masyarakat adat melaporkan apa yang dialami warga dalam konflik dengan pihak PT TPL.

Akan tetapi, kata dia, laporan-laporan warga kampungnya itu dimentahkan bahkan pernah ditolak dengan alasan pihak PT TPL telah mengadukan persoalannya lebih dulu dan pihak kepolisian tidak bisa menerima dua aduan yang sifatnya pro kontra.

Sebagai gambaran, ia pun menceritakan ketika pihak kepolisian mendatangi pos keamanan warga dan bertanya perihal ban kendaraan PT TPL yang diduga dikempesi warga.

"Dan yang paling lucu yang saya rasakan, di mana pernah ada polisi dari Polsek Simalungun datang ke kampung kita. Datang bertemu di Posko (bertanya) "eh katanya di sini mobil TPL yang bannya dikempesi?" kata dia.

"Itu yang menjadi lucu juga bagi kami, kenapa begitu TPL yang melapor cuma ban kempes saja, itu dari kepolisian itu harus turun? Jadi kenapa kita yang masyarakat yang sudah merasakan sakitnya itu, tidak ada (polisi)?" sambung dia.

Ia menegaskan karena situasi itulah yang membuatnya bertekad datang ke Jakarta meski harus meninggalkan anak-anaknya di kampung.

Tidak ada keinginan lain baginya selain memperjuangkan hak-hak dan masa depan anak-anaknya di tanah adat yang telah mereka huni selama 11 generasi itu.

"Demi untuk memperjuangkan hak-hak anak saya. Untuk generasi berikutnya. Demi lestarinya wilayah adat kami. Demi lestarinya juga Danau Toba karena kami berada di kawasan Danau Toba," kata dia.

Diketahui, belakangan pihak Polres Simalungun menyatakan telah menangkap lima anggota komunitas adat yakni Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Prando Tamba, dan Pak Kwin Ambarita.

Kapolres Simalungun AKBP Choky S Meliala mengatakan bahwa penangkapan kelima warga tersebut terkait pengrusakan secara bersama-sama pada 18 Juli 2024.

"Penjemputan ini merupakan tindak lanjut dari laporan pengrusakan secara bersama-sama sesuai Pasal 170 KUHP," kata Kapolres AKBP Choky Meliala dikutip dari Tribun-Medan.com.

Atas penangkapan tersebut, pihak masyarakat adat didampingi kuasa hukumnya juga telah berupaya melakukan pra peradilan untuk menggugat penetapan empat tersangka dari lima orang yang ditangkap tersebut.

Namun Hakim Tunggal pra peradilan Anggreana E Roria Sormin menolak gugatan tersebut pada persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Simalungun pada Selasa (20/8/2024) siang.

Anggreana menyebut bahwa penetapan tersangka telah sesuai dengan prosedur penangkapan yang diatur dalam KUHAP.

"Bahwa penyidikan yang dilakukan telah sesuai, alat bukti yang disampaikan di persidangan telah memenuhi persyaratan KUHAP, dan telah memenuhi syarat penahanan," kata Anggreana dikutip dari Tribun-Medan.com.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas