Praktisi Kesehatan: Kemasan Polos pada Produk Tembakau Bakal Membingungkan Publik
Praktisi Kesehatan Publik sekaligus Pakar K3, dr. Felosofa Fitriya menyoroti peran penting edukasi dan sosialisasi dalam menekan prevalensi konsumsi
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Wahyu Aji
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi Kesehatan Publik sekaligus Pakar K3, dr. Felosofa Fitriya menyoroti peran penting edukasi dan sosialisasi dalam menekan prevalensi konsumsi rokok masyarakat.
Ia berpandangan bahwa tidak seharusnya produk tembakau dan rokok elektronik dipasarkan dalam kemasan polos tanpa merek.
Hal ini akan menimbulkan kebingungan pada konsumen untuk membedakan produk.
Menurutnya, gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kedua jenis produk ini perlu dibedakan.
Namun, kemasan polos tanpa merek seharusnya tidak diberlakukan pada produk tembakau maupun rokok elektronik, untuk tetap melindungi konsumen dan memastikan mereka dapat memilih sesuai profil risikonya.
“Sebaiknya kemasan ini dibedakan sesuai profil risikonya yang diharapkan perilaku perokok berubah ke yang rendah risiko. Kalau semua produk tembakau dan rokok elektronik kemasannya disamakan, bagaimana cara membedakannya? Karena jika dibedakan, ini akan meningkatkan kesadaran perokok untuk memilih produk,” kata Felosofa melalui keterangan tertulis, Minggu (15/9/2024).
Aturan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek pada aturan turunan PP 28/2024 dalam bentuk Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang direncanakan Kemenkes.
Sementara itu, Ketua Umum APINDO, Shinta W. Kamdani menyampaikan keprihatinannya atas dampak PP 28/2024 kepada sektor-sektor padat karya, khususnya pada industri manufaktur.
"Regulasi ini membebankan tanggung jawab penyakit tidak menular (PTM) sepenuhnya pada produsen pangan olahan dan industri hasil tembakau, padahal PTM disebabkan oleh banyak faktor lain, seperti gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, merokok, alkohol, paparan polutan, dan stres. Beban ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada satu atau dua sektor," jelas Shinta.
Shinta menegaskan bahwa kebijakan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan sektor-sektor penting.
Ia menyoroti bahwa dalam konteks pangan olahan, produk ini hanya menyumbang sekitar 30 persen dari konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) di Indonesia, sementara 70?rasal dari pangan non-olahan.
"Pembatasan batas maksimal GGL pada produk pangan olahan perlu dikaji ulang efektivitasnya dalam mengatasi PTM karena tidak menyasar konsumsi GGL secara menyeluruh. Hal serupa berlaku untuk industri hasil tembakau. Regulasi yang terlalu ketat akan mendorong munculnya produk ilegal dan melemahkan industri formal," tambahnya.
Dalam hal industri hasil tembakau, Shinta juga menyampaikan bahwa kebijakan seperti kemasan polos dan pembatasan kadar tar serta nikotin tidak hanya menekan industri formal tetapi juga meningkatkan risiko peredaran produk ilegal.
"Kebijakan yang terlalu membatasi, seperti kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang, hanya akan membuka peluang bagi rokok ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai. Sementara itu, industri formal yang mematuhi regulasi justru terancam," pungkasnya.