Mantan Pimpinan JI Beberkan Banyak Pengusaha Kaya di Jamaah Islamiyah Hingga Ungkap Model Pendanaan
Ia menjelaskan bendahara JI yang juga seorang pengusaha tersebut mengelola dana tersebut selayaknya mengelola keuangan perusahaan.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) periode 2008 - 2019 yang saat ini tengah menjalani vonis 7 tahun penjara, Para Wijayanto, blak-blakan terkait banyaknya pengusaha kaya di organisasi terlarang tersebut hingga model pendanaan selama 11 tahun masa kepemimpinannya.
Para menjelaskan selama masa kepemimpinanya JI menolak untuk menerima sokongan dana dari luar dalam hal ini organisasi terlarang dunia Al Qaeda.
Baca juga: Eks Pimpinan Jamaah Islamiyah Cerita Nasib Para Mantan Anggotanya yang Masih Ada di Suriah
Ia mengatakan, sikap tersebut diputuskan karena sekali pihaknya menerima dana tersebut maka sulit bagi untuk keluar dari dikte Al Qaeda khususnya dalam melakukan aksi amaliyat atau teror di Indonesia.
Bahkan, kata dia, ia pernah mengutus kepala bidang intelijen JI untuk melakukan pertemuan di Thailand.
Baca juga: EKSKLUSIF Eks Pendiri dan Bos Jamaah Islamiyah Minta Maaf Tragedi Bom Bali & Berbagai Teror Lainnya
Dalam pertemuan tersebut, kata dia, kepala bidang intelijen JI ditawarkan sokongan dana.
Namun demikian, kata dia, pihaknya menolak aliran dana untuk amaliyat tersebut.
Alasannya, kata dia, karena dirinya percaya banyak umat muslim di Indonesia yang masih mendirikan salat mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan masjid tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Bila aksi amaliyat tersebut dilakukan di Indonesia, ia meyakini hal tersebut adalah perbuatan tercela mengingat umat muslim juga berisiko menjadi korban aksi tersebut.
Menurutnya, pihak Densus 88 juga telah mengetahui soal itu karena kepala bidang intelijen JI yang dimaksud telah ditangkap dan menjalani proses hukum.
Untuk itu, kata dia, di 11 tahun masa kepemimpinannya terdapat tiga model pendanaan.
Pertama adalah infak anggota yang diperuntukkan bagi operasional JI.
Sistemnya, kata dia, infak sesuai kemampuan.
Dalam infak tersebut, kata dia, pengusaha-pengusaha kaya di JI mengambil peranan untuk menutupi kekurangan infak yang ada mengingat tidak semua anggota JI mempunyai kapasitas ekonomi yang sama.
Hal itu disampaikannya saat wawancara khusus di Jakarta pada Senin (16/9/2024).
Baca juga: Kemenag Susun Kurikulum untuk Pesantren yang Diasuh Mantan Anggota Jamaah Islamiyah
"Jadi dana itu kita ambil dari infak anggota. Tapi di JI ini kan juga banyak pengusaha-pengusaha yang kaya. Jadi kita sistemnya bukan lagi infak 5 persen, tapi infak itu tidak kita paksakan. Artinya infak sesuai dengan kemampuan," kata dia.
Ia menjelaskan bendahara JI yang juga seorang pengusaha tersebut mengelola dana tersebut selayaknya mengelola keuangan perusahaan.
Bendahara tersebut mengelola keuangan dengan cara mengumpulkan bendahara-bendahara di setiap lembaga organisasi terafiliasi JI untuk kemudian menentukan kuota besaran infak.
Kuota tersebut, kata dia, ditentukan berdasarkan jumlah anggota.
"Kuota ini berdasarkan jumlah anggota. Jadi kalau kita anggap saja anggotanya 6 ribu, kalau satu orang Rp100 ribu saja kan, sekali tarik berapa kira-kira? Ketemu nggak angkanya? Itu kalau Rp100 ribu. Padahal satu orang itu ngasih Rp50 juta saja ada. Sekali ngasih lho, bukan sekali doang. Bukan," kata dia.
"Makanya nanti akhirnya bentuknya akhirnya kayak lelang. Kamu tahun ini mau kuotanya berapa. Dan subsidi silang. Jadi yang kurang, yang miskin nggak dipaksakan harus mengejar seperti yang kaya. Justru yang kaya ini biasanya belakangan. Kuotanya berapa, kurangnya ditutup," sambung dia.
Model kedua, kata dia, adalah pendanaan yang sifatnya sosial dari umat ke umat.
Untuk itu, kata dia, JI membuat beberapa lembaga semacam yayasan di antaranya Syam Organizer dan Lembaga Amil Zakat Badan Mal Abdurrahman Bin Auf.
Sekadar informasi, kepolisian pernah mengungkap pada 2021 lalu bahwa Syam Organizer mampu mengumpulkan dana belasan miliar rupiah per tahun.
Jumlah itu pun, hanya yang tercatat di laporan keuangan.
Kedua lembaga tersebut, kata dia, ditujukan untuk menggalang dana bantuan bagi pengungsi di Suriah.
"By design-nya itu dari umat untuk umat, bukan dari umat untuk JI. Jadi mengumpulkan dari umat Islam di Indonesia untuk membantu umat Islam yang di Suriah. Tapi kita sudah membaca tulisan Prevent Violance On Extremism. Di tulisan itu kita sudah baca, menbantu pengungsi di wilayah yang diduduki oleh organisasi teroris maka itu terkena pasal teroris," kata dia.
Baca juga: EKSKLUSIF: Eks Bos Jamaah Islamiyah Ungkap Bahan Peledak dan DPO Telah Diserahkan ke Densus 88
"Tetapi sayangnya kita sesama muslim yang sedang menderita itu akhirnya meskipun kita sudah baca ya kita lakukan. Makanya ya sudah, ibarat makan nasi Padang, kalau sudah makan ya harus bayar. Kita terima. Jadi itu memang keputusan PBB dalam Prevent Violance Extremism. Tapi itu kan miliaran dari antusias umat Islam Indonesia ingin membantu saudaranya di Suriah," sambung dia.
Model pendanaan ketiga, kata dia, adalah infak simpatisan yang bersifat tidak terencana atau yang ia sebut by accident.
Menurutnya, selama ini tidak sedikit juha simpatisan JI yang berinfak dengan nilai yang fantastis.
Mereka, kata dia, bahkan rela menginfakan emas batangan, mobil, hingga rumahnya untuk membantu pengungsi muslim di Suriah.
Mereka, kata Para, biasanya tidak mau namanya dicatat mengingat mereka juga mengetahui kegiatan tersebut berisiko hukum pidana.
Namun demikian, mereka tetap menitipkan harta mereka kepada lembaga yang dikelola JI tersebut meski JI tidak menyatakan secara terang-terangan kepada mereka bahwa dana tersebut dikelola oleh pihaknya.
Mereka, kata Para, dengan sadar menitipkan harta mereka kepada lembaga yang dikelola JI tersebut untuk diserahkan ke pihak yang mereka yakini sebagai mujahid di Suriah.
"Ada yang kasih emas batangan. Jangan dicatat. Dia juga khawatir dicatat. Ada yang kasih mobilnya, ada yang kasih rumahnya, itu by accident saya bilang. Itu dari segi undang-undang juga delik (pidana)," kata dia.
Menanggapi hal tersebut, eks pendiri JI yang duduk di sebelahnya, Abu Rusydan mengatakan apa yang dijelaskan oleh Para terkait pendanaan tersebut adalah wujud ketulusan hati mereka terkait pembubaran JI dan kembalinya mereka ke pangkuan NKRI.
"Ini menunjukkan ketulusan hati. Mestinya nggak diceritakan," kata dia.
Terkait proses integrasi atau kembalinya para mantan anggota JI ke NKRI, ia mengatakan memiliki tiga modal yakni kepercayaan (trust), transparansi, dan ketusan hati.
Baca juga: Menelusuri Perjalanan Berdirinya Organisasi Jamaah Islamiyah, Aktivitas hingga Bubar 30 Juni 2024
Abu Rusydan juga menegaskan di sisa hidupnya dan para mantan anggota JI lainnya akan diisi dengan komitmen dan konsistensi untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Ia pun berharap agar keraguan sejumlah pihak tidak kemudian mengganggu kepercayaan yang telah dibangun antara para mantan pimpinan dan eks anggota JI dengan Densus 88.
"Kita serius, Mas. Modal kita tiga. Ttust, transparansi, dan tulus hati. Trust kepercayaan. Jangan sampai sikap skeptis siapapun juga eksternal maupun internal yang mengganggu saling kepercayaan yang sudah kita bangun dengan pihak Densus 88. Jangan sampai merusak itu," kata dia.
"Dan kita akan mengisi hari-hari kita, waktu-waktu kita selama hari-hari ini, selama mulai 30 Juni 2024 sampai Allah mentakdirkan kapan, itu dengan dua K setelah 3 T. Trust, transparansi, dan tulus hati. Kita akan isi dengan komitmen dan konsistensi. Dan itu tidak omong kosong, waktu yang akan membuktikan. Dan waktu itu kita isi tidak dengan kekosongan,", sambung dia.
Sekarar informasi, Para dan Abu Rusydan saat ini tengah dalam proses menjalani hukuman pidana atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Proses wawancara khusus tersebut juga dalam pengawasan tim Densus 88 Antiteror Polri.
Untuk informasi, JI sendiri sebelumnya merupakan organisasi terlarang yang identik dengan berbagai peristiwa aksi teror para anggotanya di Indonesia.
Aksi teror itu juga telah menelan banyak korban jiwa di Indonesia di antaranya Bom Malam Natal (2000) Bom Bali I (2002), Bom Bali II (2005), Bom Hotel JW Marriot (2003), Bom Kedutaan Australia (2004), Bom Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton (2009), mutilasi 3 siswi SMA di Poso dan berbagai aksi teror lain yang diidentikan dengan kelompok tersebut.
Organisasi tersebut kemudian resmi dibubarkan pada 30 Juni 2024 di Sentul Bogor.
Berikut ini 6 poin utama yang diputuskan dan dideklarasikan terkait pembubaran JI tersebut:
1. Menyatakan pembubaran Al Jamaah Al Islamiyah dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Menjamin kurikulum dan materi ajar terbebas dari sikap tatharuf dan merujuk pada paham Ahlussunah wal Jamaah
3. Membentuk tim pengkajian kurikulum dan materi ajar
4. Siap untuk terlibat aktif mengisi kemerdekaan sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermanfaat
5. Siap mengikuti peraturan hukum yang berlaku di NKRI serta berkomitmen dan konsisten menjalankan hal-hal yang merupakan konsekuensi logisnya
6. Hal-hal teknis berkaitan dengan kesepakatan di atas akan dibicarakan denga negara c.q Densus 88 AT Mabes Polri.