Berurai Air Mata, Pemohon Terima Kasih Atas Dissenting Opinion Hakim MK Guntur Hamzah
Sebagai informasi MK menolak seluruhnya pengujian materiil Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemohon Angelia Susanto dalam perkara pengujian materiil Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Mahkamah Konstitusi terharu mendengarkan dissenting opinion hakim konstitusi Guntur Hamzah.
Diketahui dalam perkara 140/PUU-XXI/2023 tersebut ditolak seluruhnya oleh hakim konstitusi.
Meski begitu hakim konstitusi Guntur Hamzah menyatakan pendapat yang berbeda.
Bahkan di ruang persidangan MK, Kamis (26/9/2024), hakim MK Guntur Hamzah sampai terisak dalam menyatakan pertimbangannya.
Sementara itu ditemui selesai persidangan, pemohon Angelia Susanto mengaku berterima kasih atas dissenting opinion hakim konstitusi Guntur Hamzah.
"Beliau itu luar biasa sekali, beliau menggunakan pendekatan yang manusiawi. Bahkan beliau tadi sampai mau menangis," kata Angel kepada Tribunnews.com di gedung MK.
Suara Angela lalu terdengar bergetar, air mata terlihat keluar dari kedua bola matanya.
"Saya tadi sedih banget melihat hal itu, mungkin beliau ingat ibunya, bagaimana anak dipisahkan ibunya, ibu dipisahkan dari anak. Apalagi anaknya masih di bawah umur," kata Angela.
Meskipun putusan permohonannya ditolak, ia tegaskan tetap berterima kasih atas pertimbangan hakim Guntur.
"Terima kasih banget Pak Guntur, dari saya dan ibu seluruh orang tua yang dipisahkan dari anaknya sangat berterima kasih mewakili suara kami," ungkapnya.
Sidang Asuh Anak
Hakim konstitusi Guntur Hamzah sempat terisak saat membaca dissenting opinion atau menyampaikan pendapat berbeda dalam sidang hak asuh anak di ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (26/9/2024).
Adapun sidang dengan perkara 140/PUU-XXI/2023 ini ditolak seluruhnya oleh hakim konstitusi.
"Terus terang, saya merasa nelangsa tatkala membaca permohonan pemohon dan mendengar kesaksian ibu-ibu yang terpaksa harus berpisah dengan buah hatinya yang masih di bawah umur," ujar Guntur saat membaca dissenting opinon.
"Karena rebutan hak mengasuh anak yang berujung pada pengambilan paksa seorang anak dan ibu kandungnya," katanya.
Lebih lanjut, Guntur juga mengungkapkan ihwal dirinya yang sedih sebab mahkamah tidak seperti biasanya melakukan terobosan hukum.
Padahal dalam beberapa perkara lainnya, mahkamah tampak melangkah maju mengambil sikap.
"Bahkan dalam banyak hal terlihat progresif menunjukkan sikap konstruktifnya," tuturnya.
"Meskipun demikian, saya menaruh harapan agar kiranya mahkamah dalam putusan a quo berkenan me-deliver semangat keberpihakan kepada para ibu kandung untuk mengasuh anaknya yang masih di bawah umur," ia menambahkan.
Sebagai informasi MK menolak seluruhnya pengujian materiil Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945.
Permohonan ini diajukan oleh Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.
Para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai memiliki hak asuh anak namun saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa.
Sehingga menurut pemohon dengan tidak adanya tafsir yang jelas dan tegas mengenai ketentuan frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” apakah dapat diterapkan terhadap ayah atau ibu kandung sebagai subjek hukum sebagaimana tersebut di atas, dalam praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan hukum yang mengakibatkan adanya perlakukan yang berbeda-beda.