Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Amnesty Internasional: DPR Periode Baru Wajib Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Pelantikan DPR baru, kata dia, adalah momen penting untuk menegaskan kembali tanggung jawab wakil rakyat dalam membela hak-hak rakyat.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Amnesty Internasional: DPR Periode Baru Wajib Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Paripurna, dengan agenda penetapan pimpinan DPR, pada Selasa (1/10/2024). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengingatkan tanggung jawab anggota DPR RI periode 2024 - 2029 yang dilantik pada hari ini Selasa (1/10/2024) pada penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat.

Ia mengatakan ketika ratusan anggota DPR dilantik hari ini, pada hari yang sama Tragedi Kanjuruhan juga terjadi dua tahun lalu.

Baca juga: BREAKING NEWS Puan Maharani Ditetapkan Sebagai Ketua DPR RI Periode 2024-2029

Tragedi itu, kata dia, menjadi pengingat kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas yang ironisnya banyak dipicu oleh kebijakan eksekutif.

Akan tetapi, kata dia, badan legislatif juga bertanggungjawab karena lembek dalam fungsi pengawasan. 

Menurutnya brutalitas aparat keamanan, ketiadaan sanksi dan hukuman (impunitas) atas pelanggaran berat HAM masa lalu akibat eksekutif terus menunda penyelesaian, hingga disahkannya kebijakan pembangunan tanpa proses konsultasi masyarakat adalah cermin bahwa kemunduran HAM belakangan ini yang juga disebabkan  oleh lemahnya peran kontrol DPR. 

Baca juga: PKB Tunjuk Cucun Ahmad Syamsurijal sebagai Wakil Ketua DPR 2024-2029

Ia pun mengingatkan masih ada produk hukum seperti UU ITE dan KUHP yang isinya mengekang kebebasan berekspresi meski sudah direvisi. 

BERITA REKOMENDASI

Omnibus Law, kata dia, hari ini juga masih dinilai merugikan hak-hak asasi manusia antara lain hak buruh atas upah dan kondisi kerja yang layak, hingga hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Ia juga mengingatkan DPR juga meninggalkan Pekerjaan Rumah (PR) yang dapat membahayakan HAM di antaranya rencana revisi UU Penyiaran, UU TNI, dan UU Polri.   

Selain itu, kata dia, keputusan MPR yang mayoritasnya anggota DPR periode lalu yang mencabut nama Soeharto dari Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang pencegahan KKN dan gagasan memberinya gelar pahlawan nasional justru melecehkan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat semasa 32 tahun Soeharto berkuasa. 

Apalagi, kata dia, hari ini adalah hari peringatan Gerakan 1 Oktober yang menjadi titik awal pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis 59 tahun yang lalu. 
  
Menurutnya, sejarah resmi harus jujur dan mengakui kesalahan masa lalunya, dan mengoreksinya agar ke depan tak berulang.

Pelantikan DPR baru, kata dia, adalah momen penting untuk menegaskan kembali tanggung jawab wakil rakyat dalam membela hak-hak rakyat baik itu hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

"DPR periode baru wajib ikut menuntaskan kasus-kasus  pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai amanat Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM," kata Usman dalam keterangan yang terkonfirmasi pada Selasa (1/10/2024).

DPR, kata dia, harus mendesak Presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden tentang pengadilan ad hoc HAM untuk kasus-kasus seperti Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa aktivis 1997/1998 Tragedi Priok 1984 dan Talangsari 1989, hingga Tragedi 1965-1966, dan lainnya yang terjadi dari Aceh hingga Papua.

Baca juga: PKB Tunjuk Cucun Ahmad Syamsurijal sebagai Wakil Ketua DPR 2024-2029

"DPR wajib memastikan ada keadilan untuk korban dan keluarga mereka," kata Usman.

Menurutnya akuntabilitas dan transparansi dalam setiap proses pengambilan keputusan juga penting. 

Riset yang dilakukan Amnesty terkait pembelian alat sadap oleh Polri dan BSSN yang kurang transparan, lanjut dia, menunjukkan hal itu juga luput dari kontrol DPR.

Padahal, kata dia, alat itu bukan hanya bisa digunakan untuk memata-matai aktivis, tapi juga politisi yang kritis pada pemerintah. 

"Intinya, DPR harus mengawasi kinerja badan keamanan dan mendorong reformasi serius guna memastikan perlindungan hukum yang adil dan tak memihak bagi semua masyarakat," sambung dia.


 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas