Sempat Bikin Gaduh, Yusril Kini Beri Klarifikasi soal Tragedi 98 Bukan Pelanggaran HAM Berat
Yusril sebelumnya menyebut tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Ia pun lantas memberikan klarifikasi soal hal tersebut ke awak media.
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Klarifikasi Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra soal pernyataannya tentang peristiwa 1998.
Diketahui, Yusril sebelumnya menyebut tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
Pasalnya, Yusril menilai tak ada genosida yang terjadi pada tahun Presiden Soeharto lengser itu.
Pernyataan itu disampaikan Yusril sesaat setelah dilantik Prabowo menjadi menteri di Kabinet Merah Putih.
Pandangan Yusril itu tentu membuat kontroversi hingga kegaduhan masyarakat.
Apalagi, Yusril kini menjadi menteri yang mengurusi soal pelanggaran HAM.
Untuk meredam kegusaran publik, Yusril pun menjelaskan bahwa pandangannya itu menjawab konteks pertanyaan awak media yang saat itu tidak begitu jelas, apakah berkaitan dengan genosida atau pembantaian etnis.
Jika dua peristiwa tersebut yang ditanyakan, menurut Yusril, peristiwa itu memang tidak terjadi pada 1998.
"Saya cukup paham terhadap Undang-Undang Pengadilan HAM karena memang saya sendiri yang pada waktu itu mengajukan RUU itu ke DPR," jelas Yusril dikutip dari Kompas.com, Selasa (22/10/2024).
Yusril pun memastikan akan melakukan kajian mendalam soal pelanggaran HAM di tahun 1998 itu.
Tujuannya untuk memahami peristiwa mana yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Pengamat Nilai Menteri Yusril, Yandri, dan Natalius Pigai Offside: Perlu Ditertibkan
Terutama, peristiwa pelanggaran berdasarkan aturan di Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Tak hanya dirinya, pihak pemerintah yakni Prabowo Subianto juga akan mengkaji seluruh rekomendasi dan temuan pemerintah terdahulu mengenai peristiwa 1998.
Meski demikian, ia dan pemerintah juga memastikan akan mendengarkan kembali rekomendasi-rekomendasi yang telah diberikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Tentu pemerintah akan mengkaji semua itu termasuk juga apa-apa yang sudah diserahkan oleh tim-tim yang dibentuk oleh pemerintah pada waktu-waktu yang lalu," jelas Yusril.
Terpisah, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menegaskan, pelanggaran HAM berat tak hanya meliputi genosida melainkan dua kategori.
"Satu genosida, satunya kejahatan kemanusiaan," ujar Anis, Rabu (23/10/2024).
Anis menjelaskan, kejahatan genosida ditafsirkan sebagai penghilangan satu kelompok yang biasanya terjadi dalam situasi perang.
Sementara, unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan telah dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 9 UU Pengadilan HAM.
Baca juga: Yusril Dilantik Jadi Menko, Wabendum PBB Pratiwi Dini: Kader Terbaik PBB Diberi Amanah Lebih Tinggi
Mahfud: Yusril Tak Berhak
Pernyataan Yusril itu pun mengundang respons eks Menko Polhukam Mahfud MD.
Menurut Mahfud, Yusril ataupun pemerintah itu tidak berwenang menyatakan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran HAM berat.
Mahfud mengatakan undang-undang dan TAP MPR mewajibkan agar dugaan pelanggaran HAM berat diselidiki.
Pasalnya, kata Mahfud, hanya Komnas HAM yang memiliki kewenangan terkait itu berdasarkan undang-undang.
Hal itu disampaikan Mahfud usai menghadiri acara di kantor Kementerian Pertahanan RI Jakarta Pusat pada Selasa (22/10/2024).
"Jadi yang boleh menyatakan pelanggaran HAM berat itu terjadi atau tidak terjadi, tentu bukan Menkumham (Menko Hukum dan HAM). Yang boleh mengatakan itu Hanya Komnas HAM Menurut undang-undang," tegas Mahfud.
Mahfud mengatakan setidaknya pemerintah saat itu mencatat terdapat belasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat.
Sebanyak empat di antaranya sudah diadili, sementara sisanya belum.
Bahkan, sebanyak 34 tersangka dalam kasus-kasus tersebut dibebaskan oleh pengadilan.
Jika memang menurut Yusril Komnas HAM salah dalam menyimpulkan, maka hal itu perlu menjadi pembahasan khusus pemerintah.
"Nah, kalau Komnas HAM keliru dalam menyimpulkan itu nanti perlu dikomunikasikan Oleh Komnas HAM," jelas Mahfud.
Mahfud menjelaskan pada saat dirinya menjabat sebagai MenkoPolhukam pemerintah telah mengakui terjadi 12 pelanggaran HAM berat.
Pengakuan tersebut, kata dia, didasarkan pada penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM selama ini.
Atas dasar itu, pemerintah membuat kebijakan untuk memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Adapun caranya yakni dengan memberikan sejumlah fasilitas baik kesehatan, pendidikan, kependudukan, dan lainnya.
Langkah tersebut, ungkap Mahfud, juga telah menuai apresiasi dari PBB.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Gita Irawan)(Kompas.com)