Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Daftar Undang-undang yang Paling Sering Diuji Materi di MK: Pemilu, Cipta Kerja, Hingga UU Advokat

MK memiliki kewenangan untuk menguji materi undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945).

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Daftar Undang-undang yang Paling Sering Diuji Materi di MK: Pemilu, Cipta Kerja, Hingga UU Advokat
kai.or.id
Ilustrasi. Berikut ini daftar undang-undang paling sering di uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk menguji materi undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945).

Pengujian ini bertujuan untuk menilai apakah norma-norma dalam UU bertentangan dengan UUD 1945.

Jika ditemukan pertentangan, MK akan menyatakan bahwa norma tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Berikut ini daftar undang-undang paling sering di uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). 

1. UU Pemilu 

UU terkait Pemilu (misalnya, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) menjadi salah satu UU yang paling sering diuji di MK.  

Hal ini biasanya berkaitan dengan: 

Berita Rekomendasi

Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). 

Sistem pemilu (proporsional terbuka vs. tertutup). 

Daerah pemilihan (dapil). 

Hak konstitusional calon independen. 

2. UU Cipta Kerja 

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (dan turunannya) diajukan ke MK oleh berbagai elemen masyarakat dan organisasi karena metode penyusunan omnibus law yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, serta dampaknya terhadap hak pekerja dan lingkungan. 

3. UU Minerba 

UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) sering diuji karena dinilai lebih memihak kepentingan korporasi dibandingkan perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat. 

4. UU Perkawinan 

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan banyak diuji terutama terkait dengan batas usia pernikahan, yang sebelumnya dianggap diskriminatif terhadap perempuan. 

5. UU Ketenagakerjaan 

UU No. 13 Tahun 2003 dan revisinya sering digugat oleh serikat pekerja terkait isu-isu seperti pesangon, outsourcing, dan perlindungan hak buruh. 

6. UU Pendidikan Tinggi 

UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi kerap diuji, khususnya terkait otonomi perguruan tinggi dan akses pendidikan yang dianggap diskriminatif bagi kelompok tertentu. 

7. UU Pilkada 

UU terkait Pemilihan Kepala Daerah, seperti UU No. 10 Tahun 2016, sering menjadi objek gugatan, terutama mengenai mekanisme pemilihan langsung vs. tidak langsung, serta persyaratan calon independen. 

8. UU Kehutanan dan Lingkungan Hidup 

UU yang mengatur pengelolaan hutan dan lingkungan sering digugat oleh masyarakat adat dan LSM karena konflik kepentingan antara pelestarian lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam. 

Selain kedelapan UU itu, Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat merupakan salah satu aturan yang paling sering diuji materi. 

Ketua Harian DPN Peradi, R. Dwiyanto Prihartono, mengatakan, UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sudah sekitar 21 kali di uji di MK. 

Di antaranya terkait kedudukan hingga kewenangan Peradi. 

Dwiyanto menyampaikan keterangan tersebut ketika menerima kunjungan kuliah lapangan puluhan mahasiswa Hukum Tata Negara dari Fakultas ‎Hukum Universitas Bung Hatta (FH UBH) Padang di DPN Peradi, Jakarta, akhir pekan lalu. 

Lebih lanjut Dwiyanto menyampaikan, puluhan gugatan tersebut semuanya tidak dikabulkan oleh MK.‎ “Selalu mereka kalah, selalu mereka kandas,” tandasnya. 

Putusan MK kian mengokohkan Peradi sebagai wadah tunggal (single bar) organisasi advokat (OA) organ negara yang independen atau mandiri dan didirikan berdasarkan UU Advokat untuk menjalankan fungsi-fungsi negara. 

Guna menjalankan fungsi-fungsi tersebut, negara memberikan 8 kewenangannya hanya kepada Peradi. Ke-8 kewenangan tersebut, di antaranya melaksanakan Pendidikan ‎Khusus Profesi Advokat (PKPA), menguji calon advokat, dan mengangkat advokat. 

Selanjutnya, membuat kode etik advokat, membentuk Dewan Kehormatan, membentuk Komisi Pengawas, melakukan pegawasan, dan memberhentikan advokat. 

‎“Peradi diberi tugas khusus, hanya satu organisasi advokat yang diberi wewenang untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan negara itu,” tandasnya.  

Sayangnya, sambungnya, UU Advokat dan puluhan putusan MK itu tidak sepenuhnya dijalankan oleh lembaga penegak hukum lain.

‎Mahkamah Agung (MA) menerbitkan SK MA Nomor73/KMA/HK.01/IX/2015. 

‎SK MA yang lebih rendah dari UU Advokat membuat OA di luar Peradi menyelenggarakan PKPA hingga mengangkat advokat yang sejatinya ini hanya kewenangan Peradi. 

Sementara itu, Dekan FH UBH, Dr. Sanidjar Pebrihariati R, S.H., ‎M.H., menyampaikan, kuliah kerja lapangan di DPN Peradi ini diikuti 25 orang mahasiswa Hukum Tata Negara FB UBH, terdiri 11  mahasiswa dan 14 mahasiswi. 

‎Kuliah kerja lapangan ini juga dihadiri sejumlah pejabat teras DPN Peradi, yakni Waketum Zul Armain Aziz dan Srimiguna, Wasekjen Viator Harlen Sinaga, Ketua Bidang Publikasi, Hubungan Masyarakat, dan Prokoler, R. Riri Purbasari Dewi; serta Wakil Ketua Bidang PKPA, Sertifikasi, dan Kerja Sama, Wiwik Handayani dan Alemina Tarigan.

Sumber: Tribun Banten

Sumber: Tribun Banten
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas