Amnesty International Catat 116 Kasus Kekerasan Polisi Hingga Menimbulkan 29 Peristiwa Pembunuhan
Usman Hamid membeberkan sepanjang 2024, Amnesty International memantau kasus-kasus kekerasan polisi yang tergolong pelanggaran HAM.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
"Ini kalau dipetakan, kalau kita lihat di Banda Aceh, itu kita bisa lihat verifikasi video Amnesty khususnya oleh Tim Evidence Lab. Amnesty punya sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang bekerja di laboratorium pembuktian atau laboratorium bukti," ujarnya.
Baca juga: Alasan Pelaku Pembunuhan di Kediri Tak Habisi Nyawa Anak Bungsu Korban, Polisi: Tersangka Kasihan
"Dan bisa memverifikasi video-video yang kami temukan di lapangan dan memperlihatkan di mana persisnya, kapan persisnya kejadiannya, dan apa saja bentuk-bentuknya," sambungnya.
Usman mengatakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri tersebut terus berulang karena setidaknya empat hal.
"Pertama adalah karena selama ini tidak pernah ada pertanggungjawaban atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia akibat kekerasan polisi, sehingga tidak ada efek jera," kata Usman.
Kedua, lanjutnya, kuatnya persepsi di kalangan aparat bahwa warga yang mengkritik kebijakan pemerintah lewat aksi-aksi unjuk rasa adalah ancaman keamanan.
Ketiga, ungkapnya, minimnya komitmen negara untuk melindungi hak warga termasuk berekspresi dan berkumpul secara damai.
"Keempat, karena adanya kebijakan di kepolisian. Jadi peristiwa-peristiwa di lapangan yang tadi kita lihat, bukanlah peristiwa di mana aparat polisi melakukan tindakan itu sendiri-sendiri. Atau aparat itu melakukan tindakan dengan melanggar perintah atasannya, melainkan kebijakan kepolisian," kata dia.
"Dan karena itu, sampai hari ini tidak ada yang mendapatkan penghukuman," sambungnya.
Atas temuan tersebut, Amnesty mengemukakan empat poin kesimpulan.
Pertama, ungkap Usman, kekerasan polisi yang berulang ialah "lubang hitam" pelanggaran HAM.
Penggunaan kekuatan yang tak perlu dan tak proporsional secara berulang dan tanpa adanya akuntabilitas, lanjutnya, adalah kebijakan kepolisian merepresi tiap protes atas kebijakan negara atau pejabat atau industri strategis, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri di lapangan atau melanggar perintah atasan.
Kedua, kata Usman, kekerasan polisi atas aksi Peringatan Darurat merupakan pilihan kebijakan mengamankan kepentingan pemerintah dan mengulangi kebijakan represif terhadap suara-suara kritis atas proyek strategis nasional di Rempang, Seruyan, Mandalika, dan lainnya.
Seluruhnya, lanjut Usman, menunjukkan polisi mengkhianati tugas melindungi HAM sesuai hukum nasional dan internasional.
Ketiga, jika ditambah deretan kekerasan polisi yang marak dibincangkan masyarakat, kata Usman, jelas tahun 2024 tidak memperlihatkan adanya perbaikan sistem di kepolisian.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.