Cerita Pantun Sunda Nyaris Punah, Perlu Upaya Revitalisasi, Diseminasi Hasilkan Tiga Rekomendasi
Sebagaimana ratusan kesenian Sunda lainnya, saat ini cerita pantun Sunda menuju kemusnahan. Seni-sastra ini mungkin akan menghilang.
Editor: Muhammad Barir
Cerita Pantun Sunda Nyaris Punah, Perlu Upaya Revitalisasi, Diseminasi Hasilkan Tiga Rekomendasi
TRIBUNNEWS.COM- Sebagaimana ratusan kesenian Sunda lainnya, saat ini cerita pantun Sunda menuju kemusnahan. Seni-sastra ini mungkin akan menghilang bahkan sebelum orang Sunda mengetahui semua jenis cerita beserta isinya.
Dengan hilangnya warisan budaya, atau pada kasus tertentu dibiarkan musnah, ada sederet pengetahuan dari masa silam yang terputus dan lenyap.
Oleh karena itu, perlu upaya revitalisasi dan alih wahana agar seni-sastra ini tetap lestari.
Demikian isu yang muncul dalam kegiatan “Diseminasi Cerita Pantun Sunda” yang diselenggarakan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé serta didukung oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Menurut Etti RS, Ketua I Yayasan Kebudayaan Rancagé, tujuan diseminasi ini antara lain untuk mendapatkan gambaran kondisi pantun Sunda dari dahulu sampai saat ini.
“Selain itu, juga berharap kegiatan ini menghasilkan prioritas cerita pantun yang perlu diterjemahkan agar dapat disadur atau dialihmediakan,” tutur Etti di Gedung Perpustakaan Ajip Rosidi pada Selasa (30/7).
Diseminasi ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Arthur S. Nalan (peneliti dari ISBI), Aan Merdeka Permana (sastrawan dan dokumentor pantun), Engkus Kuswara (praktisi seni pantun) dan Dadan Sutisna (pengamat literasi Sunda). Diskusi dipandu oleh Miftahul Malik dan Yulianto Agung.
Acara dibuka oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Dr. Herawati.
Di hadapan para peserta yang sebagaian besar mahasiswa, ia mengungkapkan pentingnya menjaga warisan budaya seperti cerita pantun.
“Saya sudah membaca beberapa cerita pantun Sunda, dan itu mengandung banyak sekali nilai-nilai kearifan,” ungkapnya.
Dalam budaya Sunda, carita pantun adalah pertunjukan seni bercerita yang diiringi dengan petikan kecapi pantun.
Dahulu, pertunjukan ini dimulai sehabis salat isya dan terus berlangsung sampai menjelang subuh.
Kadang-kadang diiringi alat musik seperti kecrék, tarawangsa, atau suling.