Bandingkan Hasil Sidang MK vs Prediksi Mahfud MD dan Pengamat, Benarkah?
Simak perbandingan hasil sidang MK hingga prediksi Mahfud MD dan pengamat dari sidang putusan MK berikut ini
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
"Sehubungan dalil pemohon adalah apakah Mahkamah berwenang mengadili pelanggaran yang berkait dengan proses pemilu khususnya dalam pelanggaran bersifar TSM dan mendiskualifikasi capres dan cawapres sebagaimana dimohonkan pemohon," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul.
"Jawaban persoalan tersebut sangat penting, karena sengketa pemilu yang berkait dengan TSM proses kewenangan untuk menyelesaikannya diberikan kepada lembaga lain di luar Mahkamah," tambah Manahan.
Dalil-dalil yang ditolak
Berikut Tribunnews coba menggabungkan sederet dalil yang ditolak hakim MK tersebut.
1. Kecurangan Terstruktur dan masif
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak dalil Prabowo-Sandiaga yang mempermasalahkan dukungan sejumlah kepala daerah terhadap Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019.
Dalam permohonan, tim hukum Prabowo-Sandiaga mempermasalahkan dukungan sejumlah kepala daerah terhadap Jokowi-Ma'ruf.
Menurut tim 02, hal itu menjadi bukti adanya pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Dalam sidang, majelis berpendapat, MK bisa menangani pelanggaran pemilu jika lembaga-lembaga penegak hukum yang diberi kewenangan tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut.
Karena itu, MK melihat terlebih dulu apakah dalil soal dukungan para kepala daerah tersebut ditangani atau tidak oleh lembaga lain.
Menurut Mahkamah, hampir seluruh hal yang dipermasalahkan tim 02 merupakan kewenangan Bawaslu.
Hakim Wahiduddin Adams kemudian memaparkan putusan Bawaslu terkait kasus-kasus yang melibatkan sejumlah para kepala daerah.
Putusan Bawaslu, ada aduan yang tidak diproses karena tidak ditemukan pelanggaran. Ada pula yang terbukti melanggar aturan netralitas PNS atau UU Pemda.
Baca: Hasil Sidang Putusan MK, Seluruh Gugatan Ditolak, Prabowo Hormati Hasilnya Meski Kecewa
2. TPS Siluman
Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan, dalil yang diajukan pemohon bahwa ditemukan TPS “siluman” sebanyak lebih dari 2.000 TPS tidak terbukti dan tidak beralasan hukum.
“Bukti P-143 untuk buktikan dalilnya berupa keputusan KPU tidak dilampiri dengan jumlah TPS di seluruh Indonesia, justru sebaliknya termohon (KPU RI) dapat membuktikan jumlah TPS di seluruh Indonesia,” kata Saldi Isra.
3. Dugaan kecurangan Jokowi-Ma'ruf melalui ajakan kenakan 'baju putih'
Tim hukum Prabowo-Sandi mempermasalahkan ajakan Jokowi-Ma'ruf kepada masyarakat untuk menganakan baju putih saat datang ke Tempat Pemungutan Suara pada 17 April lalu.
Kubu 02 menilai ajakan tersebut melanggar salah satu asas pemilu, yakni rahasia.
Dengan mengenakan baju putih, kubu 02 menilai pilihan masyarakat dengan mudah diketahui dan tak lagi menjadi rahasia.
Majelis hakim konstitusi pun menolak dalil tersebut.
Menurut MK, tim 02 tidak menguraikan lebih jauh apa hubungan dan korelasi antara ajakan tersebut dengan perolehan suara.
Baca: Maruf Amin: Tidak Ada Lagi Friksi-friksi
4. Politik uang dengan menaikkan gaji PNS, TNI dan Polri
MK tidak setuju dengan dalil yang disampaikan tim hukum 02 mengenai dugaan kecurangan yang dilakukan Jokowi-Ma'ruf berupa politik uang.
Tim hukum 02 menilai adanya kecurangan yang dilakukan oleh kubu 01 berupa penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Salah satunya terkait kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan Polri.
"Dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum," ujar hakim Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan di MK, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Menurut MK, pemohon tidak merujuk definisi hukum mengenai money politics dalam materi permohonannya.
Hal tersebut membuat dalil pemohon menjadi tidak jelas, apakah dalil itu sebagai modus politik uang atau vote buying.
Menurut hakim, pemohon hanya menggunakan frasa patut diduga untuk mengaitkan kenaikan gaji dengan pengaruhnya atas pilihan dukungan PNS, TNI, dan Polri.
Dengan kata lain, pemohon hanya mendasarkan pada logika dan nalar untuk membuktikan permohonannya.
"Sangat tidak mungkin bagi Mahkamah untuk mengakui dalil tersebut sebagai money politics."
"Hal itu juga tidak memengaruhi perolehan suara yang merugikan pemohon," kata Arief.
5. Dukungan kepala daerah kepada Jokowi-Ma'ruf
MK juga menolak dalil tim hukum 02 yang mempermasalahkan dukungan sejumlah kepala daerah kepada Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019.
Tim hukum 02 menilai dukungan sejumlah kepala daerah dapat menjadi bukti adanya pelanggaran TSM.
Dalam sidang, majelis berpendapat, MK bisa menangani pelanggaran pemilu jika lembaga-lembaga penegak hukum yang diberi kewenangan tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut.
Karena itu, MK melihat terlebih dulu apakah dalil soal dukungan para kepala daerah tersebut ditangani atau tidak oleh lembaga lain.
Menurut Mahkamah, hampir seluruh hal yang dipermasalahkan tim 02 merupakan kewenangan Bawaslu.
Hakim Wahiduddin Adams kemudian memaparkan putusan Bawaslu terkait kasus-kasus yang melibatkan sejumlah para kepala daerah.
Putusan Bawaslu, ada aduan yang tidak diproses karena tidak ditemukan pelanggaran.
Ada pula yang terbukti melanggar aturan netralitas PNS atau UU Pemda.
Selain itu, ada pula kepala daerah yang terbukti melanggar UU Pemilu.
"Ternyata Bawaslu sudah melaksanakan kewenangannya, terlepas dari apapun putusan Bawaslu," ucap Wahiduddin.
Adapun mengenai kesaksian soal ketidaknetralan ASN yang disampaikan para saksi 02 di persidangan MK, menurut Mahkamah, ternyata sudah diputuskan oleh Bawaslu.
Selain itu, ada pula kesaksian yang tidak jelas, apakah sudah dilaporkan atau tidak ke Bawaslu.
Dengan demikian, Mahkamah menolak dalil tersebut.
"Apa yang didalilkan pemohon sebagai pelanggaran yang bersifat TSM tidak terbukti dan oleh karena itu Mahkamah berpendapat dalil a quo tidak beralasan menurut hukum," kata hakim Wahiduddin Adams.
6. MA tolak gugatan soal pelanggaran administratif
Tak hanya MK, Mahkamah Agung (MA) pun menolak permohonan tim hukum Prasbowo-Sandi.
Tim hukum Prabowo-Sandi menilai telah terjadi penlanggaran administratif dalam Pilpres 2019.
Permohonan itu diajukan oleh Ketua BPN Djoko Santoso dan Sekretaris BPN Hanafi Rais.
Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi pihak termohon.
"Menyatakan permohonan pelanggaran administrasi pemilihan umum yang diajukan oleh Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso dan Ahmad Hanafi Rais tidak diterima," seperti dikutip dari salinan putusan, Rabu (26/6/2019).
Putusan tersebut diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dipimpin Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Supandi.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengungkapkan, dalam pertimbangan putusannya hakim menyatakan gugatan BPN Prabowo-Sandi bukanlah obyek pelanggaran administrasi pemilu (PAP).
"Inti pertimbangan putusan menyatakan obyek yang dimohonkan bukan objek PAP di MA," ujar Abdullah dikutip Tribunnews.com dari Kompas.com.
(Tribunnews.com/Chrysnha, Malvyandie Haryadi)