Disdik Cimahi Selidiki Dua Sekolah yang Diduga Jualan Buku Paket
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 2 tahun 2008 disebutkan pihak sekolah dilarang menjual buku paket
TRIBUNNEWS.COM – Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Cimahi sedang melakukan penyelidikan terhadap dua sekolah yang diduga memperjualbelikan buku paket mata pelajaran tahun ajaran 2013/2014. Hal itu ditengarai adanya laporan yang diterima pihak Disdikpora Cimahi melalui jejaring sosial. Dalam laporan itu disebutkan sekolah di jenjang SD tersebut mewajibkan siswanya membayar Rp 280.000.
"Laporan yang lewat jejaring sosial itu baru kami terima tadi (Selasa 3/9/2013) pagi, selain itu pada Jumat lalu juga kami mendengar ada laporan warga. Makanya sekarang kami sedang coba melakukan pendalaman dulu, benar atau tidaknya soal laporan itu. Jadi kami belum bisa menyebut nama kedua sekolah itu," kata Toto Suharto, Sekretaris Disdikpora Kota Cimahi saat ditemui Tribun Jabar (Tribunnews.com Network) di kantor Disdikpora Kompleks Pemkoat Cimahi, Selasa (3/9/2013).
Menurut Toto, penjualan buku paket itu jelas menyalahi aturan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 2 tahun 2008 disebutkan pihak sekolah dilarang menjual buku paket dan lembar kerja siswa bagi siswa. "Untuk itu, jika terbukti Disdik akan bertindak dengan memanggil sekolah yang bersangkutan sehingga dapat diketahui alasannya," ungkapnya.
Di Kabupaten Subang pun, sejumlah SD masih menerapkan penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada siswa-siswanya. "Anak saya yang duduk di kelas tiga dan kelas 6 SD di Kecamatan Dawuan masih membeli LKS seharga Rp 10 ribu," kata Yati Kusmayati (30), orang tua siswa di Desa Dawuan Kecamatan Dawuan Kabupaten Subang, kemarin.
Ia mengatakan, LKS tersebut, dibelinya langsung dari sekolah tanpa melalui perantara. Bahkan, kata Yati, setiap tahun kenaikan kelas, pembelian LKS tersebut masih terjadi. "Belinya langsung dari guru, dijual di kelas. Kedua anak saya sekolah di sana dan sama-sama beli LKS," ujarnya.
Hal yang sama dikatakan Sudarta (35) warga Desa Pasir Kareumbi Kecamatan Subang. Ia mengatakan, LKS tersebut dijual langsung oleh guru di sekolah. "Harganya antara Rp 7.500 hingga Rp 12.500, itu dibeli anak saya saat ini yang masih duduk di kelas 2 SD," ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Subang Kusdinar mengatakan penjualan LKS oleh guru-guru dilarang meski dibutuhkan untuk media pembelajaran. "LKS itu idealnya bentuk kreativitas guru sebagai alat media pembelajaran guru untuk siswa. Bentuknya bisa dibikin sendiri atau dilakukan secara manual, bukan mengadakan LKS kemudian dijual ke siswa," kata Kusdinar.
Ia juga mengharapkan peran serta orang tua siswa untuk mengawasi penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang setiap tiga bulan dalam setahun dicairkan ke rekening sekolah.
"Termasuk untuk buku paket, jika ada orang tua yang diharuskan membeli buku paket, itu juga kesalahan karena buku paket sudah dibiayai dana BOS dan bukunya untuk para siswa. Jika ada yang merasa diminta beli buku paket, laporkan saja pada kami," ujar Kusdinar.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung, Gun Gun Gunawan menyayangkan pihak sekolah yang menjual buku paket dan LKS. Padahal, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah diberikan kepada setiap sekolah. Namun masih banyak sekolah yang melanggar aturan.
"Kalau kami mengadakan sidak ke sekolah pasti mereka bilang tidak ada. Kami pun memang tidak menemukan buktinya. Mungkin sidak yang kami lakukan sudah diketahui pihak sekolah. Selain tidak ada masyarakat yang berani melaporkan dengan membawa bukti. Mungkin mereka juga takut akan berdampak kepada anak-anaknya," kata Gun Gun kepada Tribun, beberapa waktu lalu.
Hal serupa juga diungkapkan Ketua DPRD Kota Bandung Erwan Setiawan. Ia merasa kesal penjualan buku yang membebani orang tua siswa selalu terjadi tiap tahun. "Saya berharap tidak terjadi penjualan buku di sekolah yang seharusnya gratis," ujar Erwan di kantornya, Selasa (3/9).
Erwan meminta sekolah tidak membebani orangtua murid karena saat ini Kota Bandung wajib belajar 12 tahun. "Percuma jika SPP gratis tapi harus membeli buku mahal, kasihan orang tua kurang mampu," ujar Erwan.
Akhir pekan lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhammad Nuh menegaskan bahwa sekolah tidak boleh melakukan penjualan buku. Sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk mendukung pengadaan buku sekolah.
"Sekolah tidak boleh jual buku. Buku apa pun. Apalagi buku paket. Buku tidak boleh dibebankan kepada siswa," katanya ditemui usai meresmikan Telkom University di Telkom University Convention Hall Jalan Telekomunikasi, Sabtu lalu.(ddh/men/aa/tsm/tif)