Hampir Semua Sekolah di Bandung Memungut Biaya
Sekolah eks rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) seharusnya kembali menjadi sekolah pada umumnya
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Sekolah eks rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) seharusnya kembali menjadi sekolah pada umumnya. Terutama SD dan SMP, tak boleh lagi melakukan pungutan sekolah dari orang tua siswa.
Selama ini, sekolah RSBI memungut dana besar karena biaya operasional tak bisa ditanggulangi oleh pemerintah. Berdasarkan penelitian Dewan Pendidikan, operasional siswa per tahun juga membutuhkan dana besar.
"Kami memang mengadakan penelitian. Siswa sekolah standar nasional di Bandung membutuhkan operasional Rp 3.050.000 juta per tahun. Itu rekomendasi kami. Tapi ternyata baru setengahnya yang bisa terpenuhi. Jadi, kalau Gubernur mengatakan sekolah gratis, tidak salah, tapi belum ditutupi kekurangannya itu," ujar Irianto, Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Bandung, kepada Tribun, Jumat (11/10/2013).
Meski pemerintah baru bisa memenuhi setengah dari kebutuhan siswa melalui bantuan operasional siswa (BOS), Irianto mengatakan tetap saja sekolah tidak boleh memungut dana kepada orang tua siswa. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48, dikatakan boleh ada peran serta masyarakat, tapi bersyarat. Peran serta masyarakat tidak boleh atas dasar paksaan, tidak mengikat, dan tidak menetapkan jumlah sumbangan yang sama kepada orang tua siswa.
"Kalau disamaratakan, misalnya x rupiah, itu menyimpang. Atau misalnya waktunya harus dilunasi pada kelas 1, itu menyimpang juga," kata Irianto.
Menurut dia, peran serta masyarakat atau orang tua siswa harus atas dasar keinginan pribadi. Misalnya sekolah memiliki program tertentu, lalu orang tua siswa berembuk sendiri untuk membantu. Besaran dana yang hendak disumbang terserah setiap orang tua siswa.
"Saya terbuka saja. Berdasarkan pengamatan saya, hampir semua sekolah negeri di Bandung itu memungut. Tapi bentuknya berbeda-beda, seperti kencleng dan lain-lain. Ada juga saat pembagian rapor, orang tua dikumpulkan dan diminta menyumbang," ujar Irianto.
Irianto juga melihat adanya ketidakadilan antara sekolah pendidikan dasar (SD-SMP) dan SMA/SMK. Pasalnya, SD dan SMP tidak boleh memungut dana pada masyarakat dan sumber dana hanya dari BOS. Di SMA/SMK, operasional dibantu BOS, tapi boleh memungut dana sumbangan pendidikan (DSP), iuran bulanan, dan pungutan-pungutan lain.
"Jadi, sekolah paling kaya itu SMA/SMK. Ini perlu kearifan dari pejabat kita. Bentuklah sistem yang betul. Kalau tidak boleh memungut, peraturan itu harus berlaku untuk semua (sekolah) dan harus ada sanksi bagi pelanggar. Kalau hukum tidak ada sanksi, tidak ada efek jera dan berulang terus," tutur Irianto.
Irianto mengatakan, ia kadang-kadang kasihan terhadap para kepala sekolah. Mereka tidak boleh memungut, tapi dana dari pemerintah sering terlambat cair. Pemerintah harus lebih tanggap dalam persoalan ini.
Untuk menggratiskan sekolah di segala jenjang, memang sulit. Irianto mengatakan, jika dana APBN dan APBD digunakan semua untuk memenuhi standar pendidikan, anggaran akan habis untuk pendidikan saja. "Harus ada perhitungan cermat dari sekolah, pemkot, dan pusat untuk menggiring ini semua jadi sekolah gratis. Kedua, kalau memang tidak dipenuhi semuanya, harus ada sanksi bagi yang melanggar. Selama ini kan tidak ada sanksi," katanya.
Soal sekolah gratis, semua orang sudah sepakat. "Tapi jangan dijadikan komoditas politik. Menjadi jualan ketika kampanye, semua gratis-gratis, tapi setelah duduk, dia tidak memperhitungkan berapa yang harus dikeluarkan," ujar Irianto. (bb)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.