PBB Kaji Berkas Peradilan Satinah karena Diduga Tidak Adil
Persidangan Satinah, diduga kuat tidak memenuhi prinsip-prinsip fairness (berkeadilan) sesuai hukum internasional.
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Proses persidangan terhadap TKI Satinah, diduga kuat tidak memenuhi prinsip-prinsip fairness (berkeadilan) sesuai hukum internasional.
PBB, telah meminta Migrant Care untuk memberikan laporan tentang proses peradilan TKW asal Dusun Mrunten, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang itu.
Permintaan itu, disampaikan melalui Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) atau Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM),
Hal itu, diungkap oleh Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, Kamis (3/4/2014), di sela- sela kunjungan ke rumah keluarga Satinah di Ungaran.
"Pelapor khusus PBB, yakni Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Navanethem Pillay, sudah meminta kami memberikan hasil-hasil atau proses peradilan Satinah. Harapannya proses (persidangan) bisa dikaji ulang di UN," ungkap Anis.
Peninjauan ulang persidangan Satinah tersebut, kata Anis, layak diupayakan setelah melihat adanya prinsip fairness yang tidak terpenuhi, seperti ketersediaan pendampingan dari pengacara, penerjemah maupun konseling.
"Satinah dalam proses hukum tidak mendapat itu karena pemerintah tahunya setelah proses hukum sudah selesai, ada vonis. Artinya jika itu diselidiki PBB, kita juga kawal data dan lainnya, saya kira bisa diupayakan langkah lain selain diyat," terangnya.
Pembayaran diyat sendiri, ungkap Anis, merupakan alternatif yang harus segera dibayarkan pemerintah dengan melihat kondisi terkini.
Sebab, penundaan pembayaran diyat yang dilakukan selama ini toh pada akhirnya tidak mempengaruhi nilai diyat yang harus dibayarkan, yakni Rp21 miliar.
"Sebenarnya kalau diyat dibayarkan konsekuensi yuridisnya langsung dibebaskan (dari hukuman mati). Makanya dari kemarin kami meminta pemerintah ya sudah dibayarkan diyat saja," tegasnya.
Berkaca dari kasus Satinah tersebut, pemerintah semestinya tidak terlambat dalam melakukan pendampingan terhadap TKI yang terjerat kasus di negara lain. Saat ini, kata Anis, ada 261 TKI yang menjalani persidangan di luar negeri dan terancam hukuman mati.
"Kalau pemerintah menyediakan bantuan hukum sejak awal, ada diplomasi, memastikan semua peradilan berjalan fair, pemerintah tidak perlu galau, pembayaran diyat Satinah jadi preseden semua (TKI yang terancam mati) minta diyat," ungkapnya.