22 Guru Asal Universitas Negeri Manado Terjebak Dalam Baku Tembak
Nyawa 22 guru berstatus Sarjana Mendididik SM3T asal Universitas Negeri Manado yang bertugas di Papua terancam
Editor: Budi Prasetyo
Aksi penembakan oleh kelompok separatis bersenjata terus merebak di Lanijaya dalam sepekan terakhir. Dua personel polisi dan 5 anggota OPM tewas dalam serangkaian aksi itu.
Tak Sempat Pamit Murid
Sebelas bulan menjadi guru bagi anak-anak Sekolah Dasar di Distrik Tolikara Papua, membuat hubungan emosional 22 guru SM3T Unima dengan mereka begitu kental.
Hanya bertugas selama satu tahun, membuat mereka menyadari betul pasti akan ada perpisahan. Tak hanya anak-anak, tapi juga warga yang hidup berdampingan dengan mereka, yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Waktu yang singkat membuat mereka mendambakan perpisahan yang manis. Bisa berpamitan, foto-foto, atau melukiskan cerita indah di hari perpisahan dengan tanah Papua beserta isinya. Namun, pecahnya konflik OPM belum lama ini, memupuskan semua harapan para guru.
"Bukan perpisahan seperti ini yang kami harapkan. Kami tak bisa berpamitan pada anak-anak dan warga yang telah menjadi keluarga kami di sana. Bukan begini akhir cerita yang kami harapkan dari tanah Papua. Berat tinggalkan anak-anak dengan cara seperti ini," ujar Andre Christian Tuwo, Guru Pendidikan Sejarah SM3T Unima.
Sebenarnya, jadwal kepulangan mereka baru akan dilakukan pada September 2014, sebulan dari sekarang. Namun, Rabu (6/8/2014) mereka sudah harus ditarik dari lokasi tersebut. "Semuanya serba mendadak. Jangankan pamit, barang-barang kami saja sudah tak diperhatikan. Keselamatan menjadi hal yang sangat berharga," tuturnya.
Berbagai cerita berkesan dialami Andre dan teman-temannya di sana. Pelajaran hidup berharga tentang perjuangan dalam kesederhanaan, ketulusan memberi dan hidup penuh syukur dirasakan mereka. "Di sini kami dibekali pelajaran yang sangat mahal untuk hidup," tandasnya.
Dari konflik OPM yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, Andre dan Refol menyebut Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati.
"NKRI harga mati. Kami para guru berjuang di tanah Papua. Program SM3T ini juga untuk Indonesia yang lebih baik. Kami bangga jadi orang Indonesia. Semoga konflik ini cepat berakhir," harapnya. (fin)