Inilah Cerita Awal Mula Jenang Kudus
Syukur atas pangan dan rezeki melebur dalam kirab tebokan jenang di Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, akhir Oktober lalu.
Editor: Sugiyarto
Ia menambahkan, agar pembeli jenang tidak bosan dengan rasa, bentuk, dan kemasan jenang, banyak perajin berinovasi dan berkreasi.
Mereka, misalnya, membuat jenang berkulit coklat atau jenang rasa pandan, wijen, durian, dan stroberi dengan perpaduan aneka warna, terutama hijau dan merah.
”Kami juga mengemas jenang secara klasik dan modern, misalnya dengan anyaman daun pandan hutan, kertas, plastik, dan anyaman bambu. Itulah yang kami sebut sebagai keberagaman jenang kudus,” ungkapnya.
”Pring” tebokan
Masduki menambahkan pula, tempat jenang yang terbuat dari bambu, terutama tebokan, tetap dilestarikan. Tebokan merupakan wadah yang pertama kali digunakan warga untuk menjual jenang. Tak mengherankan jika warga Desa Kaliputu menyebut tradisi itu sebagai kirab tebokan jenang.
Hadi Priyanto, penulis buku Sosrokartono, De Javasche Prins, menyatakan, tidak banyak orang yang tahu bahwa pring atau bambu menjadi inspirasi hidup Sosrokartono.
Salah satu filosofinya tentang bambu adalah susah padha susah, seneng padha seneng, eling padha eling, pring padha pring (susah sama susah, senang sama senang, ingat sama ingat, dan bambu sama bambu).
Bagi Sosrokartono, bambu merupakan pohon yang seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan. Bambu bisa untuk membuat rumah, mulai dari tiang, atap, dinding, hingga pagar. Bambu juga bisa dibuat kursi, balai, sangkar, keranjang, dan tebokan.
Cikal bakal pohon bambu, yaitu bung (rebung) atau bambu muda, dapat dimanfaatkan untuk sayuran dan makanan. Bambu juga beragam jenisnya, antara lain bambu petung, ori, wuluh, dan apus.
”Artinya, apa pun jenis, warna, bentuk, dan pemanfaatannya, bambu tetap bambu. Tak ada perbedaan, semua sama. Sama seperti kita, manusia. Apa pun bangsa, agama, ras, warna kulit, bahasa, dan suku kita, kita tetap sama, sama-sama tahu, sama-sama manusia,” tutur Hadi.
Hadi mengatakan, dari filosofi bambu itu, Sosrokartono dikenal pula dengan sebutan Joko Pring. Tradisi tebokan jenang pun dimaknai lebih mendalam.... (HENDRIYO WIDI/kompas)