Limbah Pabrik Kulit yang Dibuang ke Sungai Gandong Resahkan Warga Magetan
Limbah dari Lingkungan Industri Kulit (LIK) Magetan yang dibuang ke Sungai Gandong dan membelah kawasan kota Magetan terasa sangat mengganggu.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, MAGETAN - Limbah dari Lingkungan Industri Kulit (LIK) Magetan yang dibuang ke Sungai Gandong dan membelah kawasan kota Magetan terasa sangat mengganggu.
Selama musim kemarau ini, air Sungai Gandong mengering sehingga pencemaran lingkungan mulai menyiksa, terutama warga yang tinggal dekat dengan aliran sungai itu.
"Kalau musim hujan, limbah masih bercampur dengan air bersih, polusi udara tidak begitu menyesakkan dada. Tapi begitu sungai kering, hanya limbah yang mengalir di Sungai Gandong, warga banyak yang terkena sesak nafas dan asma. Kami mau lapor kepada siapa," kata Gading, Ketua RT1/RW3 Kelurahan/Kecamatan/Kabupaten Magetan kepada SURYA.co.id, Minggu (1/11/2015).
Yang memprihatinkan, lanjut Gading, tidak pernah ada Corporate Social Responsibility (CSR) atau kompensasi atas kerugian yang dialami warga Magetan.
Pemangku tanggungjawab industri itu adalah Pemprov Jatim yang selama ini menerima restribusi dari pengusaha kulit yang mengolah kulit di Unit Pelaksana Tehnis Lingkungan Industri Kecil (UPT LIK) Disperindag Provinsi Jatim di Magetan.
"Ada IPAL tapi kayaknya tidak berfungsi, banyak air limbah yang masih pekat (kental) kimiawi hasil proses penyamakan kulit yang langsung mengalir ke Sungai Gandong. Bau busuk bercampur kimiawi itu sangat menyesakkan paru sehingga banyak yang menderita sesak nafas," jelas Gading, arsitek ternama Magetan ini.
Ia menambahkan, keuntungan dari penyamakan kulit atau restribusi yang menerima pejabat provinsi, tapi limbah dan penyakit yang menerima warga Magetan.
Lantaran kerusakan lingkungan dan pengelolaan IPAL yang tidak sesuai petunjuk pelaksanaan semestinya, seluruh warga di RT1/RW3 setempat mengumpulkan tanda tangan untuk melaporkan pencemaran lingkungan ini.
Hal yang sama juga dikatakan Anis, warga RT2/RW3 Kelurahan/Kecamatan/Kabupaten Magetan yang akan bergabung dengan rukun tetangga di kelurahannya untuk melaporkan pencemaran ini hingga ke presiden.
"Saya yakin IPAL di LIK sudah tidak berfungsi atau sudah tidak muat lagi menampung limbah. Apalagi, kelihatannya karyawan Disperindag tidak pernah melakukan aktivitas pengolahan limbah di IPAL itu," kata Anis.
Mestinya, kata Anis, Kepala Daerah tanggap dan bisa melapor ke Gubernur agar IPAL yang tidak berfungsi itu bisa segera diperbaiki, atau direlokasi ke daerah bawah.
Agar bau busuk yang memenuhi udara kota Magetan setiap hari bisa bersih.
"Kami bertahun tahun merasakan bau busuk yang menyengat dari limbah pengolahan kulit. Sudah banyak warga yang melapor, tapi tidak pernah digubris".
"Apa kasus keresahan akibat polusi udara yang ditimbulkan pengolahan limbah yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi ini tidak didengar gubernur. Apa gubernur sengaja tidak mendengar," kata pria berkulit kuning langsat ini.
Kepala Unit Pelayanan Tehnis (UPT) Disperindag Pemerintah Provinsi Jatim sebagai pengelola IPAL belum berhasil ditemui.
Sementara Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Magetan Bambang "Bobo" Setiawan yang dikonfirmasi mengaku pernah melayangkan surat peringatan terkait polusi udara yang diakibatkan limbah penyamakan kulit di LIK UPT Provinsi Jatim di Magetan.
"Saya sudah layangkan surat peringatan kepada Disperindag Provinsi dengan tembusan Disperindag Kabupaten Magetan. Tapi nyatanya hingga kini polusi udara akibat IPAL yang sudah tidak mampu menampung limbah hasil pemrosesan kulit itu kelihatannya semakin hebat," kata Bambang kepada SURYA.co.id via ponsel, Minggu (1/11/2015).