Kita Semua Ternyata Berpotensi Jadi Teroris, Ini Penjelannya
Rentetan serangan teror di sejumlah negara sejak medio November mengagetkan dunia. Dengan keji, banyak orang menjadi korban.
Editor: Sugiyarto
Mereka tidak terbiasa melihat sesuatu yang berbeda, sulit menoleransi ketidakpastian maupun menghargai proses.
"Kondisi itu diperparah dengan pola pendidikan yang mendukung pola pikir tertutup, kurang menghargai kreativitas berpikir," kata Gazi.
Deradikalisasi
Kerentanan seseorang jadi pelaku teror tidak dipengaruhi status ekonomi, tingkat kecerdasan, ataupun status pekerjaan. Kesamaan di antara pelaku teror adalah mereka butuh bermakna secara signifikan.
Karena semua orang berpeluang jadi teroris, lanjut Mirra, teror takkan pernah bisa dihentikan meski kelompok teror sulit jadi populasi mayoritas.
"Akan selalu ada kelompok yang aspirasinya tak mendapat tempat di masyarakat hingga tidak bisa melakukan mobilitas sosial untuk memperbaiki status kelompoknya," katanya.
Karena itu, untuk mencegah terus berkembangnya kelompok-kelompok radikal, deradikalisasi harus menyeluruh dengan pendekatan berbagai aspek, mulai pendidikan, agama, budaya, sosial, hingga psikologi.
Deradikalisasi tidak hanya urusan aparat keamanan atau organisasi agama, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan masyarakat.
Dukungan publik sangat memengaruhi eksistensi kelompok teror. Menurut Gazi, penolakan masyarakat terhadap kelompok teror di daerahnya bisa mempersempit gerak mereka.
Penolakan itu juga menyadarkan sebagian anggota kelompok teror bahwa masyarakat yang mereka klaim sedang diperjuangkan tak sepenuhnya mendukung.
Selain itu, deradikalisasi berbasis komunitas amat penting mengingat ukuran benar-salah di Indonesia bukan pada nilai atau norma, melainkan seberapa besar dukungan masyarakat. (kompas.com)