Nenek Paini Setiap Hari Makan Nasi Basi yang Dikeringkan Pemberian Tetangga
Hampir setiap hari nenek malang ini makan nasi basi yang dikeringkan atau nasi aking pemberian para tetangga.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG - Jargon Pemkab Jombang: Jombang Sejahtera untuk Semua.
Tapi fakta kemiskinan warganya berikut ini segera menunjukkan sebaliknya.
Adalah Paini, nenek umur 70 tahun yang tinggal di Dusun Paras, Desa Turipinggir, Kecamatan Megaluh, Jombang.
Mbok Paini, begitu warga sedesanya menyapa, sudah sekitar 12 tahun hidup sebatang kara dan tinggal di gubuk reot yang sungguh tidak layak huni.
Bayangkan, gubuknya berdinding anyaman bambu yang sudah tidak utuh lagi alias bolong-bolong karena aus dimakan usia.
Gubuk itu pun didirikan di atas tanah milik tetangganya, yang tak sampai hati melihat kondisi Mbok Paini.
Sebelumnya, ia tidak memiliki tempat berteduh dan tidur saat matahari terbenam.
Tidak hanya tinggal di gubuk reot, untuk hidup sehari-hari pun kondisinya sangat mengenaskan.
Hampir setiap hari nenek malang ini makan nasi basi yang dikeringkan atau nasi aking pemberian para tetangga.
Maklum saja, Mbok Paini secara fisik memang sudah tidak mampu lagi mencari nafkah sendiri karena kondisinya yang sudah sangat tua, renta dan rapuh.
"Saya baru memasak nasi kalau dapat beras sembako (raskin) dan pemberian tetangga,” kata Mbok Paini, sambil mengusap air mata yang menetes di kedua pipinya, Kamis (7/4/2016).
Rumah anyaman bambu (gedhek) yang menjadi tempat tinggal Paini juga nampak memprihatinkan.
Gubuk berukuran sekitar 1,5 x 3 meter itu sebagian sudah roboh.
Di dalam ruangan yang cukup gelap, lembab, dan pengap itu, hanya ada sebuah ranjang bambu beralaskan potongan tikar plastik dan bekas spanduk.
Di situlah, Mbok Paini duduk, berbaring dan tidur.
Jika malam tiba, bola lampu dengan aliran listrik menyala, guna memberikan penerangan di gubuk Mbok Paini.
Itu juga karena belas kasihan tetangga yang tidak tega melihat gubuk Paini gelap gulita manakala malam tiba.
Mbok Paini menjelaskan, saat hujan deras turun, dia hanya pasrah dan duduk di ranjang bambu.
Itu karena dirinya khawatir gubuknya roboh. Itu pula sebab, dia meletakkan ranjang bambunya tak jauh dari pintu depan gubuknya.
“Ini untuk berjaga-jaga kalau ada tanda-tanda mau roboh, saya bisa langsung berlari keluar rumah. Kalau hujan turun saya memang tidak berani tidur, takut rumahnya roboh, apalagi di sini banyak yang bocor,” keluh Mbok Paini.
Di teras gubuknya, setumpuk genting yang dia tata menjadi dapur berbahan bakar kayu. Itu merupakan tempat dia memasak dan merebus air.
Sedangkan untuk mandi ataupun buang hajat, serta mencuci, Paini numpang di sumur milik tetangga.
Mbok Paini sebenarnya memiliki seorang anak, hasil pernikahannya dengan sang suami yang sudah lama meninggal.
Anak semata wayangnya yang berprofesi sebagai abang becak itu kini tinggal di Dusun sebelah bersama anak istrinya.
Kondisinya yang juga serba kekurangan membuat anaknya juga tidak mampu berbuat banyak terhadap Paini, ibunya.
"Setiap bulan saya diberi anak saya uang Rp 20.000. Tapi mana cukup untuk biaya hidup sebulan,” ungkap Paini, getir.
Ketua RT setempat, Gatot Sularko, menuturkan, Mbok Paini sebenarnya pernah diajak anaknya tinggal di rumahnya, tapi dia tidak kerasan dan memilih kembali ke gubuknya ini.
Gatot berharap, ada perhatian dari pemerintah daerah kepada Mbok Paini.
Pasalnya sejauh ini, nenek malang itu sama sekali belum tersentuh bantuan apapun.
"Hanya setiap tiga bulan sekali dia mendapat bantuan beras untuk warga miskin (raskin) sebanyak 15 kilogram,” kata Gatot.
Gatot menjelaskan, sebenarnya Pemerintah pernah sempat akan melakukan bedah rumah pada kediaman Paini, namun karena tanahnya bukan milik Paini, akhirnya bedah rumah itupun batal dilakukan.
“Sampai sekarang belum ada solusi lain,” kata Gatot yang juga tetangga Mbok Paini.(Sutono)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.