Arief Yahya: Jangan Ragu Alokasikan Budget yang Proporsional untuk Dorong Creative Industry
Empat puluh lima menit di atas stage dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan bersama stakeholders di Sumsel itu betul-betul waktu yang amat bermakna
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Empat puluh lima menit di atas stage dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan bersama stakeholders di Sumsel itu betul-betul waktu yang amat bermakna.
Bukan hanya buat Gubernur, Bupati, Walikota, dan para perencana di Bappeda, tetapi juga buat publik di negeri ini. Jangan sampai salah arah dari level yang paling mendasar, perencanaan!
Berulang kali, Menpar Arief Yahya menekankan hal itu. Jangan salah mendesain perencanaan. Jangan salah mengalokasikan budget. Jangan salah membuat prioritas. Jangan salah memilih portofolio bisnis.
Itu dosa terbesar, karena akan berdampak signifikan pada daya saing generasi kita ke depan.
“Kalau mau menjadi pemain dunia, pakailah standar dunia di bidang apapun. Kalau merasa dirinya bagus, harus ditanya lagi, kata siapa?” ucap Arief Yahya untuk menunjukkan bahwa kita berfikir out world looking.
Ada negara yang bisa dijadikan contoh, Korea Selatan. Negeri Ginseng itu, creative industry-nya sudah lebih besar sumbangsihnya kepada devisa negara, dibandingkan dengan manufacture-nya. Korea menetaskan perusahaan berskala global yang mulai bersaing di bidangnya. Samsung misalnya, merambah ke semua sector, dengan menjual kreativitasnya.
“Fitur-fitur hi-tech yang didesain Samsung dan LG sebagai buah karya creative, sudah berhasil menggeser produk-produk elektronik Jepang, seperti Sony, Toshiba, Hitachi, dan lainnya,” katanya.
Begitupun otomotif, seperti KIA dan Hyundai, yang terus merebak di pasar dunia dan diterima pasar karena technology development-nya. Di smartphone juga begitu, keluaran Samsung S-7 langsung menggebrak dunia, karena terdepan dalam teknologi.
Contoh lain, kata Menpar, adalah Nike,Inc, Perusahaan multinasional yang bergerak di alat-alat olahraga terbesar di dunia, yang didirikan oleh William J "Bill" Bowerman dan Philip H. Knight di Beaverton, Oregon, Amerika Serikat itu.
Komposisi budgetingnya, desain dialokasikan 20%, marketing 40%, dan manufacturing 40%. Orang Amerika mengambil desain dan marketing, sudah 60% dari struktur biaya.
“Pabrikasi atau manufacturing-nya di-outsourching ke Indonesia dan Vietnam. Memang biayanya 40%, tetapi ongkos produksinya 35%, sehingga net profit-nya maksimal hanya 5% saja,” kata Arief yang sering merasa diperlakukan dengan tidak adil dari komposisi itu.
Tetapi, Arief Yahya juga menyadari, bahwa itulah fakta yang tidak bisa dihindarkan. Mereka lebih pintar, mereka mengambil benefit lebih besar.
Dari 20% desain itu ongkos produksinya hanya 5%, margin keuntungannya 15%. Lalu dari marketing 40%, biayanya 20%, labanya 20%.
“Maka total benefit dari jasa desain dan marketing adalah 15% plus 20%, jadi 35%. Coba bandingkan dengan negara-negara berkembang yang hanya memperoleh 5% margin dari manufacturing! Hanya cukup untuk membayar UMR saja!” jelas Arief Yahya.
Arief Yahya menyadari, untuk kepentingan penyerapan tenaga kerja, UMR pun oke saja. Point yang terpenting bukan di situ, tetapi services atau jasa memiliki value add yang jauh lebih besar daripada manufacturing.
“Negara-negara yang mengandalkan services, sukses melompat maju. Singapore, Hongkong, Dubai, Doha, Abu Dhabi, juga contoh yang baik, negara yang maju karena mengandalkan financial service,” ujarnya.
Pariwisata, menurut dia, adalah sector jasa atau service.
“Kalau kita sudah tahu bahwa ke depan itu era creative industry? Gelombang cultural industry menanti di depan mata? Perusahaan services punya prospek kuat? Google yang dibangun dengan 20 orang dalam waktu cepat menjadi raksasa dunia, dengan value USD 500M? WhatsApp yang rugi memiliki valuasi USD 20M? Mengapa harus ragu mengalokasikan budget yang proporsional untuk mendorong creative industry?” papar Arief Yahya.
Pertanyaan lanjutan adalah: Apakah kita mampu? Apakah pariwisata Indonesia sanggup bersaing? Kenapa tidak? Saat ini Indonesia masih jauh di bawah Malaysia, Singapore, dan Thailand.
Dari data kunjungan wisman, Indonesia baru tembus 10,4 juta, Singapore 15 juta, Malaysia 25 juta, Thailand 30 juta.
“Saya yakin, dalam dua tahun akan mengalahkan Malaysia, dan dalam empat tahun mengalahkan Thailand,” jelas Arief Yahya.
Tanda-tanda itu sudah bisa dilihat dari tahun 2015 ini. Pertumbuhan atau growth wisman ke Indonesia, naik 10,3%. ASEAN naik 5,1%. Dunia naik 4,4%. Singapore naik 0,9%, Malaysia turun 15,7%, dan Thailand naik 20,4%.
“Dari country branding, Wonderful Indonesia naik menjadi peringkat 47, dari sebelumnya tidak punya peringkat. Itu sudah mengalahkan Truly Asia Malaysia papan 96, termasuk Amazing Thailand peringkat 83,” ujar dia yang mengambil referensi dari World Economic Forum 2015.
Berbagai kompetisi yang digelar secara resmi (official) oleh lembaga resmi yang mengurusi pariwisata dunia, Indonesia juga membuktikan lebih hebat. World Halal Travel Award 2015, di Abu Dhabi, Uni Arab Emirate, Indonesia menyabet 3 penghargaan.
Malaysia yang selama ini menjadi rajanya “halal destination” tidak mendapatkan apa-apa. Dari UNWTO Award 2016 di Madrid Spanyol, Indonesia juga menyabet 3 penghargaan, sedangkan Malaysia nihil.
Lalu di level regional ASEAN, melalui ASEANTA Award di Manila, Filipina, Indonesia merebut 3 penghargaan, Malaysia 2 award.
“Maka skor sementara 10 : 2 untuk Wonderful Indonesia,” jelasnya.
Penghargaan di setiap travel mart, kata Arief, juga tidak pernah absen. Wonderful Indonesia selalu juara, di mana-mana, karena memang dipersiapkan khusus untuk merebut juara. Dari desain, fasilitas, performance, kemudahan dan lainnya di tahun 2016 ini.
Di Bulgaria mendapat Award for Active National Presentation di Holiday & Spa Expo 2016. Lalu di Outbond Travel Mart Mumbai, India, juga juara. Di Los Angeles Travel and Adventure Show 2016. Award di Pays d’Honneur di Paris 2016.
Dilanjut India International Travel Mart 2016, dapat tiga penghargaan sekaligus. Hongkong di Flower Festival 2016 juga. The Best Exhibitors Award di ITB Berlin, travel mart terbesar dan paling terkenal di dunia.
“Kemenangan itu direncanakan. Kalau cultural industry, anak-anak Indonesia itu mampu bersaing. Anak-anak kita hebat di creative. Kita juga punya potensi alam dan budaya yang kuat. Kita punya modal yang kuat. Wonderful Indonesia sudah membuktikan, bahwa mengalahkan Malaysia itu tidak sulit,” kata Arief Yahya, memotivasi audience untuk berani bersaing secara sehat dan Kreatif.