Nur Atikah, Wanita Tangguh yang Ingin Anaknya Tak Menikah Muda
Rata-rata pria di kampung halaman Nur, bekerja sebagai sopir truk pengangkut batu, atau menjadi penambang batu.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, LEBAK -- Korban pembunuhan dan mutilasi, Nur Atikah (34), punya jalan hidup berbeda dibanding sederet teman sebayanya di kampung halamannya di Kampung Warung Asem, Desa Kadujajar, Kecamatan Malingping, Provinsi Banten.
Banyak teman sebaya Nur sekolah hanya sampai SD atau SMP, lalu menikah di usia 16 atau 18, memiliki anak, dan hidup bergantung dengan suami mereka yang berpenghasilan kecil.
Rata-rata pria di kampung halaman Nur, bekerja sebagai sopir truk pengangkut batu, atau menjadi penambang batu.
Wilayah itu memang kaya akan batu alam. Banyak tambang batu di sana. Tambang terbesar dimiliki oleh mantan Bupati Lebak, Jayabaya.
Begitulah jalan hidup sebagian besar wanita di desa tempat Nur tinggal.
Nur mengikuti cara itu hanya sampai ia menikah di usia muda dengan seorang pria di desanya bernama Tony.
Saat itu Nur lulus SMP dan tengah menganggur. Saat dilamar Tony di usia 18 tahun, ia mengiyakan dan menikah.
Tapi semenjak bercerai dengan Tony, jalan hidup Nur berubah.
Dia jadi berdaya sendiri akibat keterpaksaan. Tak lagi bergantung ke lelaki.
Dia bercerai dengan Tony saat anak pertamanya berusia 4 tahun sedang anak keduanya baru lahir.
Saat Nur meninggal, anak pertamanya sudah berusia 15 tahun.
Nur pun mencari celah mendapat penghasilan dengan berbagai cara.
Dia memilih ikut menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi selama 4 tahun.
Setelah itu dia memilih bekerja di Rumah Makan Padang Gumarang selama 3 tahun.