Tertarik Mengabdi di Daerah Terpencil Karena Terinspirasi Sokola Rimba
Retno menceritakan, ia mengalami Culture Shock, karena perbedaan kebudayaan di Lampung yang notabene adalah orang-orang yang tegas.
Penulis: Monica Felicitas
Editor: Wahid Nurdin
Laporan wartawan Surya, Monica Felicitas
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Perawakan yang mungil, tidak lantas membuat Retno Dewi Yulianti (24) untuk tidak bekarya membuat anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak.
Gadis berkacamata ini, Senin (23/5/2016) berkunjung ke kampusnya duly, Universitas Airlangga Surabaya, untuk melakukan sharing dan talkshow pengalamannya sebagai salah satu guru, pada program untuk mengajar di pelosok daerah, gagasan Anis Baswedan, Menteri Pendidikan RI, bernama Indonesia Mengajar.
”Tujuan saya untuk mengabdi, bukan untuk meperkaya diri,” katanya saat membuka talkshow, dan hal tersebut membuat suara mahasiswa dan mahasiswi Unair yang ada di auditorium Kahuripan lt 3 pun berubah menjadi senyap.
Retno, yang merupakan alumnus jurusan Komunikasi, Fisipol Unair ini mengatakan ia merupakan pengajar muda angkatan 9, yang tahun lalu ditempatkan mengajar di daerah Tulang Bawang, Lampung selama satu tahun.
”Pendidikan tidak hanya dipikirkan oleh pemerintah saja, tetapi seluruh lapisan masyarakat haruslah terlibat. Hal yang paling realisitis, apabila kita Iuran kehadiran, bukan hanya iuran iuran opini dan dana,” paparnya.
Retno yang awalnya terisnpirasi setelah menonton film Sokola Rimba, yang menampilkan cerita seorang wanita mengajar di hutan pedalaman, membuat tergerak hatinya untuk melakukan hal yang sama. Selain itu karena membaca buku Indonesia Mengajar, semakin membuat dirinya untuk tergerak, melihat pengalaman para seniornya yang sudah terlbat menjadi pengajar muda terlebih dahulu.
”Menarik nih ngajar di daerah terpencil dan nggak tau ditempatkan dimana. Soalnya dari kecil saya mimpinya bisa ke Afrika. Sejujurnya modal saya hanya bonek (Bondo Nekat). Saya ingin berbagi, mungkin nggak muluk-muluk, saya nggak punya spesific skill yang bisa dibagikan, tapi ada hal lain yang bisa saya bagikan,” jelasnya
Retno menceritakan, ia mengalami Culture Shock, karena perbedaan kebudayaan di Lampung yang notabene adalah orang-orang yang tegas, dan hal tersebut tidak terkecuali bagi anak didiknya disana.
”Disana anak-anak nada bicaranya seperti bentak-bentak orang. Bu saya mau kebelakang, tapi ya keras ngomongnya. Saya kan orang jawa jadi ya agak kaget,” katanya sambil tertawa.
Lain Retno, pada talkshow dan sharing tersebut juga menghadirkan Ratu Fauzana, pengajar muda angkatan 2, yang ditempatkan mengajar di Bima, Nusa Tenggara Barat.
”Awalnya ikut Indonesia mengajar, karena terinsipirasi dari novel Sokola Rimba. Saya baca-baca kok seru. Tapi belum ada nyali kepedalaman. Muncullah opsi lain, Indonesia Mengajar ini. Tempatnya lebih ada, jelas dimana dan mengajar SD,” cetus Alumnus Universitas Padjajaran Bandung ini.
Ratu yang terketuk karena melihat kondisi pendidikan di Indonesia, merasa mempunyai tanggung jawab untuk menshare apa yang pernah ia rasakan, kepada anak-anak yang tidak merasakan fasilitas yang sama dengan dirinya.
”Jangan harapkan disana anak-anaknya seperti disini. Itu daerah yang saya tinggali selama setahun, itu seperti gundukan batu besar ditengah laut, yang didalamnya dihuni masyarakat yang menggunakan rumah panggung. Anak-anak sekolah datang penuh dengan ingus, dan tidak mandi. Malah ada yang bilang sama mamanya karena ada guru baru, mereka minta di setrika bajunya. Karena nggak ada listrik akhirnya ditumpuk pakai buku dan AlQuran, biar bajunya terlihat rapih oleh guru baru,” katanya mengingat pengalaman berharganya.
Ia juga mengatakan, tak jarang hewan seperti kambing yang berjumlah banyak memasuki ruang kelas yang ia ajar
”Sekolahnya seperti laskar pelangi. Sekolahnya diatas tebing, jadi kita bisa lihat laut dari halaman sekolah,” jelasnya sambil tersenyum.
Ditambahkan Retno, disana dirinya menggunakan sepeda motor untuk akses mengajar, sementara Ratu berjalan kaki, karena diharuskan tinggal dipulau itu selama setahun.
”Saya mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Ini tantangan, dan menjadi pengalaman yang mungkin tidak akan pernah saya lupakan,” imbuh Ratu.
Indonesia Mengajar, adalah program yang dicanangkan oleh Anis Baswedan, sejak tahun 2000an. Sudah sebanyak 671 pengajar, dan mengeluarkan 12 angkatan, yang sudah terbagi kepelosok daerah di Indonesia, bertugas menjadi guru SD.
Para pengajar, haruslah seorang sarjana, juga diharuskan tinggal selama satu tahun ditempatnya mengabdi tanpa boleh kembali ke rumah sampai misinya terselesaikan. Untuk tahun 2016, beberapa daerah yang menjadi sasaran tambahan pengajar muda adalah Aceh, Nunukan, dan Kabupaten Bintan.(*)