Ritual Napak Tilas Sesepuh Banyuwangi, Naik Dokar dan Sambil Mengingat Sejarah
Selain Seblang, Barong Ider Bumi, masyarakat suku Using Banyuwangi, Jawa Timur, mempunyai tradisi Puter Kayun yang mereka laksanakan setelah lebaran.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Surya, Haorrahman
SURYA.CO.ID, BANYUWANGI - Selain Seblang, Barong Ider Bumi, masyarakat suku Using Banyuwangi, Jawa Timur, mempunyai tradisi Puter Kayun yang mereka laksanakan setelah lebaran.
Puter Kayun merupakan tradisi napak tilas masyarakat Using Boyolangu, Kecamatan Giri Banyuwangi dengan cara beramai-ramai naik delman.
Ritual ini digelar tiap hari ke-10 bulan Syawal atau pada Jumat (15/7). Ratusan warga mengendarai delman dari Kelurahan Boyolangu menuju Pantai Watu Dodol sejauh 15 kilometer.
Belasan dokar dihias aneka bunga dan beragam asesoris yang menarik, layaknya andong wisata. Dokar-dokar ini adalah milik warga Boyolangu yang memang masih memegang adat Puter Kayun.
Puter Kayun dibuka oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Ia mengatakan, tradisi puter kayun, masuk Banyuwangi Festival ini berasal dari masyarakat yang tumbuh dari bawah.
"Tradisi ini prakarsa dari bawah dan pemerintah daerah akan terus mewadahi, dan selalu nguri-nguri budaya yang telah tumbuh dan menjadi identitas masyarakat," kata Anas.
Bupati yang telah masuk periode kedua itu mengatakan, Banyuwangi Festival akan konsisten mengangkat tradisi lokal masyarakat setempat. Festival yang sifatnya tradisi lokal akan tetap digelar di daerah tersebut.
"Tidak justru kami usung ke kota. Selain untuk menjaga tradisi dan ritual yang ada, ini juga sebagai cara untuk menumbuhkan banyak obyek atraksi wisata di Banyuwangi,” ujar Anas.
Ketua adat Puter Kayun, Mohamad Ikrom, mengatakan rute yang dilalui parade delman ini menyusuri jejak dari leluhurnya, Ki Buyut Jakso.
"Konon, dulu membuka jalan di sebelah utara, Belanda meminta bantuan pada Ki Buyut Jakso karena bagian utara ada gundukan gunung yang tidak bisa dibongkar. Ki Jakso lalu bersemedi dan tinggal di Gunung Silangu yang sekarang jadi Boyolangu. Atas kesaktiannya, akhirnya dia bisa membuka jalan tersebut sehingga wilayah itu diberi nama Watu Dodol, yang artinya watu didodol (dibongkar)," ujar Ikrom.
Menurut Ikrom, Ki Buyut Jakso berpesan agar anak cucu keturunannya berkunjung ke Pantai Watu Dodol untuk melakukan napak tilas apa yang telah dilakukannya.
"Karena saat itu hampir semua masyarakat Boyolangu bekerja sebagai kusir dokar, maka mereka mengendarai dokar. Hingga ada yang menyebut puter kayun ini sebagai lebarannya kusir dokar,” imbuh dia.
Sebelum pelaksanaan puter kayun, tradisi ini diawali sejumlah ritual. Dimulai dari tradisi kupat sewu (seribu ketupat) yang digelar tiga hari sebelum puter kayun.
Dalam kupat sewu ini, masyarakat Boyolangu membuat ketupat, lepet dan makanan lain sebagai pelengkap. Tiap rumah membuat kupat dan lepet untuk dibagi-bagikan kepada tetangga dan saudara. Selain dibagikan ketupat ini juga untuk selamatan yang digelar disepanjang jalan desa.
“Dalam selamatan, warga menggelar tikar di depan rumah masing-masing dan menyajikan kupat. Jika dihitung, ada lebih seribu kupat yang disajikan dalam selamatan ini. Tujuannya, tentu agar warga selamat dan diberi rezeki yang berlimpah serta terbebas dari musibah,” kata Ikrom.
Keesokan harinya, dilanjutkan dengan arak-arakan beragam budaya mengelilingi kampung. Mulai dari tapekong, kebo-keboan, kuntulan, barong, ondel-ondel, gandrung, hadrah dan patrol semua ditampilkan.
Rangkaian berikutnya, mereka berziarah ke makam Buyut Jakso yang ada di Boyolangu, lalu dilanjutkan dengan tradisi Puter Kayun.