Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

57 Hari Batas Penyanderaan, Bagaimana Nasib ABK yang Disandera Abu Sayyaf?

Senin (15/8/2016) kemarin, merupakan hari ke 57 batas akhir penyanderaan yang dilakukan kelompok ekstrimis Filipina.

Editor: Wahid Nurdin
zoom-in 57 Hari Batas Penyanderaan, Bagaimana Nasib ABK yang Disandera Abu Sayyaf?
Tribun Kaltim/Nevrianto HP
Keluarga ABK TB Charles yang disandera tentara Abu Sayyaf berkumpul di mess perusahaan. 

TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA ‑ Pemerintah dan pihak perusahaan kapal dibuat ketar‑ketir oleh kelompok Abu Sayyaf, terlebih keluarga tujuh anak buah kapal (ABK) Tug Boat Charles 00, yang hingga kini belum mendapatkan kepastian mengenai nasib para sandera.

Senin (15/8/2016) kemarin, merupakan hari ke 57 batas akhir penyanderaan yang dilakukan kelompok ekstrimis Filipina.

Penyandera meminta pemerintah Indonesia atau pihak perusahaan membayar tebusan senilai Rp 65 miliar, jika ingin 7 ABK dibebaskan.

Awak media, termasuk Tribun Kaltim tidak bosan‑bosannya mendatangi posko keluarga korban yang terdapat di mess PT PP Rusianto Bersaudara, kawasan Sungai Lais, Samarinda tak jauh dari kantor operasional perusahaan.

Pagi itu, kawasan mes perusahaan tampak lengang dan sepi, terlebih karena anak‑anak ABK sedang sekolah. Hanya ada beberapa ibu yang tengah menyapu dan menjemur pakaian di depan mess karyawan.

Elona Ramadhani, istri M Robin Piter yang rumahnya dijadikan posko, setiap hari selalu membuka lebar pintu rumahnya.

Keluarga korban lainnya, seperti Dian Megawati Ahmad (istri Ismail), Abdul Muis (ayah Kapten Ferri Arifin), serta Misna (keluarga M Sofyan) setiap hari datang ke posko sekadar berbagi informasi mendatangi kantor operasioal, menanyakan perkembangan pembebasan sandera.

BERITA TERKAIT

Massa akhir batas waktu yang diberikan, Elona mengaku menaruh keyakinan kepada pemerintah maupun crisis centre bisa membebaskan suaminya dan kru kapal lain kendati hingga saat ini dirinya belum mendapatkan kepastian mengenai nasib suaminya di Filipina.

"Kami tetap yakin, pemerintah dan perusahaan melakukan yang terbaik untuk keluarga kami. Tentu yang terbaik agar mereka dapat pulang dengan selamat," tutur Elona, Senin (15/8/2016).

Sementara itu, Mega mengaku pada Senin (15/8) kemarin telah ditelepon salah seorang anggota tim crisis centre. Dalam percakapan tersebut, dirinya diminta bersabar.

Tim di Jakarta mengungkapkan seluruh ABK dan WNI lainnya dalam keadaan aman. Tidak ada indikasi untuk melakukan pembunuhan kepada ABK, meski uang tebusan belum diberikan.

"Saya sudah dihubungi tim crisis centre dan perusahaan. Intinya semua WNI dalam keadaan aman, dan mereka meyakini jika pemerintah terus melakukan upaya segera membebaskan seluruh WNI," tutur ibu satu anak itu kepada Tribun.

Mega juga mengungkapkan rasa kekhawatirannya kepada suaminya. Selain karena menjadi sandera, diketahui Ismail memiliki penyakit maag yang cukup parah. Bahkan jika maagnya kambuh, sering kali Ismail muntah.

Tak hanya itu saja, sejak suaminya menjadi sandera kelompok bersenjata Filipina itu, setiap malam tidak bisa tidur dan kerap menangis.

Kendati demikian, dirinya yakin suami dan kru kapal lainnya akan selamat.

"Kalau saya tidur, saya seperti mengkhianati dia (Ismail). Jadi saya sudah susah tidur dan kerap tidak tidur sepanjang malam, karena kepikiran dia. Bagaimana dia sana, apakah sudah makan maupun kesehatan dia seperti apa," tuturnya.

Mega mengaku, psikolog yang dikirim Kementerian Luar Negeri cukup membantu dirinya dan kelaurga ABK lainnya. Meski demikian tetap saja dirinya sangat membutuhkan psikolog yang saat ini tengan menjadi sandera di Filipina, yakni suaminya.

"Saya tidak butuh psikolog dari Kementerian, karena psikolog saya ada di Filipina, segera saja datang dia (Ismail)," ucapnya sambil tersenyum. "Saya inginnya ke Jakarta lagi, ya untuk jemput suami saya," tambahnya.

Abdul Muis, ayah Kapten Ferri Ariffin akan menagih janji pemerintah, yang menyatakan kepada dirinya dan keluarga ABK lainnya untuk membebaskan kru kapal dengan selamat. Janji tersebut diberikan pemerintah, melalui Menkopolhukuam Wiranto.

"Pemerintah sudah berjanji dan itu harus ditepati, dan kami akan tagih janji itu. Apapun cara yang digunakan pemerintah, yang penting mereka cepat pulang dan selamat sampai di Indonesia," tuturnya.

Tak Bisa Berbuat
Ultimatum yang dikeluarkan kelompok milisi Abu Sayyaf membuat keluarga sandera harap‑harap cemas. Bukan tak mungkin keselamatan WNI yang sebagian besar berdomisili di Samarinda terancam.

Panglima Kodam VI Mulawarman Mayjen TNI Johny L Tobing kepada wartawa di Balikpapan mengaku tak bisa berbuat banyak terhadap permasalahan tersebut. Hal tersebut di luar kewenangannya, meskipun sandera merupakan WNI yang berasal dari Kaltim.

"Tak banyak bisa kami (Kodam) lakukan yang bisa memberikan dampak kepada keluarga korban saat ini. Masalah ini sepenuhnya ditangani pusat. Prinsipnya kami kalau diperintah siap. Siapkan itu, baru kami siapkan. Tapi bagaimana mereka bisa pulang , jujur kami belum bisa berbuat apa‑apa," katanya.

Pemerintah saat ini telah banyak melakukan upaya terkait pembebasan WNI yang disandera Abu Sayyaf untuk ketiga kalinya. Mulai negoisasi hingga pertemuan diplomasi antarMenteri Luar Negeri.

"Kami hanya bisa memberikan saran kepada mereka (keluarga korban) sama-sama perbanyak berdoa kepada Tuhan demi keselamatan ," ujarnya.

Pangdam menyatakan belum mendapatkan perintah untuk membentuk tim khusus atau pangkalan khusus seperti proses pembebasan sandera sebelumnya di Tarakan.

"Terkait pasukan khusus maupun teknis pembebasan. Itu rahasia Panglima TNI, kalau dikasih tahu mereka siap‑siap. Dukungan Kodam hanya logistik berkaca pengalaman sebelumnya," paparnya usai silaturahmi antara Keluarga Besar TNI dan media massa di Balikpapan.

Hal senada diungkap Gubernur Awang Faroek Ishak. Awang menyerahkan seluruh tindakan dan keputusan kepada pemerintah pusat.

"Kami tak bisa berbuat apa‑apa. Kami tunggu saja. Mudah‑mudahan hasilnya sama dengan korban penyanderaan lainnya yang sudah lolos dan kembali ke keluarga masing‑masing," ujarnya saat ditemui di Pemprov Kaltim, Senin (15/8/2016).

Hal ini karena daerah sudah tak memiliki kewenangan lagi untuk mengatasi hal tersebut. "Kalau daerah tak bisa intervensi. Ini sudah kewenangan antar negara melalui Kemenlu," ucapnya.

Pangdam serta Kapolda menurut Awang hanya bisa berperan sebagai penunjang saja dalam kasus penyanderaan tersebut.

"Kita hanya sebagai penunjang saja, tak bisa ambil keputusan," kata Awang.

Terkait upaya pendampingan, Awang sudah menyerahkan pula seluruhnya kepada pihak Kemenlu untuk memberikan informasi serta bimbingan kepada pihak keluarga korban penyanderaan. (tribun kaltim/cde/m20/m11)

Sumber: Tribun Kaltim
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas