BRT Trans Jateng Menggeser Sistem Setoran Jadi Gaji Bulanan
Pemprov Jateng sudah memberi subsidi operasional BRT Trans Jateng sepanjang 36,5 km Koridor Terminal Bawen - Stasiun Tawang sebesar Rp 5,4 miliar.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) sudah memberi subsidi operasional BRT (Bus Rapid Transit) Trans Jateng sepanjang 36,5 km Koridor Terminal Bawen (Kabupaten Semarang) - Stasiun Tawang (Kota Semarang) sebesar Rp 5,4 miliar mulai Juli-Desember 2017.
"Itu adalah layanan bus umum yang menghubungkan dua simpul transportasi Terminal Tipe A dan Stasiun KA dan dua pemda," kata Djoko Setijowarno (53) pengamat transportasi dan Akademisi Jurusan Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Semarang kepada Tribunnews.com, Sabtu (5/8/2017).
Pemerintah tidak perlu pengadaan armada, operator yang mengadakan sebanyak 18 bus dari kebutuhan 25 bus.
Menggunakan bus berkapasitas 42 penumpang. Harga satu unit bus Rp 750 juta, mendapat pinjaman dari BPD Jateng.
Baca: Suami Saya Guru Ngaji Tak Mungkin Nyolong di Musala
"Tingkat isian 83 persen (sehari mengangkut 3.400 - 3.800 penumpang), waktu tempuh 90 menit. Setiap hari, bus beroperasi mulai operasi jam 05.00 WIB hingga 21.00 WIB. Tiap armada akan beroperasi 6 rit per hari. Jarak antar bus atau headway 15-20 menit," jelasnya.
Operator adalah pengusaha angkutan umum di jalur yang sama. Berbadan hukum koperasi, yakni Koperasi Mulia Orda Serasi.
"Tidak ada gejolak atau demo dari pengusaha angkutan umum yang ada karena sebagian dari mereka sudah menjadi anggota koperasi yang menaunginya," kata Djoko.
Pengemudi mendapat gaji tetap bulanan, THR sebulan gaji, BPJS dan nanti masih dapat pembagian keuntungan usaha ini di akhir tahun.
Mereka berkerja dengan sistem 2 hari bekerja 1 hari libur. Program ini dapat menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 150 orang.
"Program BRT ini dapat ditiru pemda lainnya untuk menata transportasi umum di daerahnya," kata Djoko.
Program ini menurutnya tidak menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Pasalnya, tidak memunculkan operator baru (tidak menggusur), akan tetapi memanfaatkan operator lama (hanya menggeser) yang semula sistem setoran menjadi gaji bulanan.
"Risiko sudah beralih dari operator ke pemerintah. Berarti, Pemerintah yang membeli pelayanan. Buy the service," kata dia.
Djoko merasa jengkel ada program pemerintah pusat yang belum berjalan untuk BRT.
"Baru satu Kota Mataram dari target 34 kota. Ini bagaimana ya?" kata dia.
Memerlukan waktu dua tahun untuk meyakinkan pengusaha dan sopir di jalur yang sama.
"Nah seperti itulah pemerintah jarang mau," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.