Ratusan Buruh Kota Semarang Demo Kantor Gubernur Jateng, Tuntut UMK Rp 2,7 Juta
Buruh yang mengatasnamakan Aliansi Buruh Kota Semarang, menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jateng, Jalan Pahlawan, Kota Semarang.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG – Ratusan buruh yang mengatasnamakan Aliansi Buruh Kota Semarang, menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jateng, Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Rabu (15/11/2017).
Mereka menuntut agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng), menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) Semarang tahun 2018 sejumlah Rp 2,7 juta, atau lebih tinggi dari pengajuan Pemkot Semarang ke gubernur sekitar Rp 2,2 juta.
Di tahun 2017 ini, UMK Kota Semarang Rp 2,1 juta.
Koordinator Bidang Advokasi Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Kota Semarang, Karmanto mengatakan, pihaknya mempertanyakan alasan pemerintah menjadikan PP 78 tahun 2015 sebagai acuan penetapan upah.
Baca: Fahri Hamzah tak Terima Kediaman Setya Novanto Digeledah KPK
Padahal, terdapat Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang kesejahteraan tenaga kerja.
"PP kan derajatnya lebih rendah dibanding undang-undang, malah dipakai untuk regulasi pengupahan di Kota Semarang. Kami menuntut pada Pemkot Semarang dan Pemprov Jateng bertanggungjawab menyejahterakan buruh," katanya saat ditemui di sela aksi.
Karmanto mengungkapkan, menurut survei yang pihaknya lakukan, UMK Kota Semarang paling rendah dibanding kota-kota besar lain di Indonesia.
Sementarea harga mi instan di Jakarta dan Surabaya serta Semarang sama, Rp 2.400.
"Tapi kenapa pemerintah tidak bisa meratakan UMK di Kota Semarang setara dengan kota lain. Kota Semarang selalu tertinggal," ungkapnya.
Ia juga mengaku, pihaknya sudah melakukan survei harga kebutuhan pokok di lima pasar di Kota Semarang, yakni Pasar Karangayu, Jatingaleh, Pedurungan, Lamper, dan Mangkang.
Dari hasil survei tersebut, kebutuhan hidup layak (KHL) buruh mestinya UMK yang ditetapkan Rp 2,7 juta.
"Kami menuntut pemerintah dalam menetapkan UMK 2018 tidak menggunakan PP 78 tapi survei KHL," tegasnya.
Dalam aksi tersebut, mereka juga membentangkan spanduk dan poster, yang berisi tuntutan mengenai penetapan UMK 2018.
Baca: Wakil Ketua DPRD Bali yang Punya 3 Istri Sempat Menemui Pacarnya Tiga Hari Usai Penggerebekan
Aksi ini, mendapatkan pengawalan ketat dari pihak kepolisian setempat.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, masih menunggu pengajuan nominal Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dari masing-masing kabupaten/kota.
Hingga kini, masih ada tiga kabupaten/kota yang belum mengajukan ke gubernur.
Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi Jateng, Edy Joko Pramono mengungkapkan, Pemprov masih menunggu seluruh pengajuan nominal UMK dari kabupaten dan kota.
Jika nantinya sudah terkumpul, baru dilakukan verifikasi dan kajian oleh Pemprov.
"Kalau sudah masuk, maka kita godok. Kita akan melihat ketentutuan-ketentuan yang dipakai, apakah yang dipakai acuan oleh kabupaten/kota sudah sesuai atau belum. Angkanya juga kita perhatikan," kata Pramono usai menemui perwakilan para buruh di kantor gubernur, Rabu (15/11/2017).
Menurutnya, Pemprov tetap akan memerhatikan semua ketentuan yang ada. Baik mengacu pada PP 78 maupun kebutuhan hidup layak (KHL) sesuai permintaan para buruh.
"Masukan dari kabupaten/kota akan kita bahas, normatifnya sudah masuk atau belum, hasil survei lapangan sudah sesuai atau belum. Kalau sudah sesuai maka kita kombinasikan untuk bahan pertimbangan," jelasnya.
Adapun batas akhir keputusan pengajuan dari kabupaten/kota, serta batas akhir gubernur menyetujui usulan dari kabupaten/kota, adalah 21 November 2017.
Sejauh ini, dari 35 kabupaten/kota, masih ada tiga daerah yang belum menyetorkan, antaralain Kota Semarang, Demak, dan Pati.
Pramono menegaskan, jika nominal yang diajukan para bupati/wali kota nantinya dinilai meragukan maka Pemprov akan memanggil bupati/ wali kota untuk dimintai penjelasan.
"Kalau memang meragukan maka bupati dan wali kota akan dipanggil, apa dan bagaimana bisa muncul angka demikian. Kalau sekiranya sudah sesuai, maka tidak perlu dipanggil," tandasnya.
sementara itu, Ketua Apindo Kota Semarang, Dedi Mulyadi mengatakan, Apindo tetap mengikuti PP 78/2015, di mana perhitungan kenaikan upah sesuai pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
"Pengusaha perlu kepastian dalam berusaha," kata Dedi singkat.
Saat ditanya mengenai tuntutan buruh yang menginginkan UMK Rp 2,75 juta, Dedi enggan berkomentar. (tribunjateng/had/nal)