Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Anak-anak Mentawai Seberangi Sungai dan Berjibaku dengan Lumpur Demi Menempuh Pendidikan

Sedari pagi, sejumlah anak Mentawai berjibaku dengan lumpur demi menempuh pendidikan di Mentawai.

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Anak-anak Mentawai Seberangi Sungai dan Berjibaku dengan Lumpur Demi Menempuh Pendidikan
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sejumlah anak melintas di Dusun Gorottai lama di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN. 

SEKOLAH di Mentawai tidak mudah digapai. Sedari pagi, sejumlah anak Mentawai berjibaku dengan lumpur demi menempuh pendidikan di Mentawai.

Empat anak dengan wajah riang berlari kencang saat langkah kaki mereka yang penuh lumpur menginjak lahan pemukiman belum berpenghuni di Dusun Ukra, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (6/12/2017) pagi.

Mereka bersorak sorai begitu tiba di sebuah bangunan berdinding papan cat putih bertuliskan "Sekolah Uma Gorottai".

Yah, keempatnya merupakan anak Suku Mentawai fam Sirisurak dari Kampung Gorottai yang berupaya menimba ilmu demi menggapai cita-cita dalam kondisi serba kekurangan.

"Sekolah Uma Gorottai" baru beroperasi pada Juni 2016 lalu atau pada tahun ajaran 2016/2017.

Baca: Fadli Zon Berharap Presiden Jokowi Merespons Surat Minta Perlindungan Diduga dari Novanto

Sekolah panggung dengan dua ruang kelas tersebut didirikan oleh warga Kampung Gorottai secara gotong-royong dengan bantuan dana Rp 15 juta dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM).

BERITA TERKAIT

Sekolah lama mereka di Kampung Gorottai telah ditutup sejak empat tahun lalu oleh pendirinya, Yayasan Yoga, karena terus berkurangnya jumlah murid.

Foto aerial Dusun Gorottai lama di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN.
Foto aerial Dusun Gorottai lama di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Semula, Sekolah Uma Gorottai mempunyai lima murid. Kini tersisa empat murid yang keseluruhannya berasal dari Kampung Gorottai.

Theresia Ratna (10) dan Antonius (10) duduk di Kelas 4. Adik Ratna, Klara Marsalina (8), duduk di Kelas 2. Sementara, Paulus (7) masih Kelas 1.

Tak ada raut keletihan dari keempat anak itu saat tiba di sekolah meski baru saja berjalan kaki dari tempat tinggal mereka, Kampung Gorottai, sejauh lebih 2 km.

Padahal, medan atau jalan yang dilalui dari tempat tinggal mereka sampai sekolah terbilang sulit, seperti dijalani awak Tribun.

Setidaknya mereka harus melewati satu sungai, dua kali dan jalan berlumpur di tengah hutan sebelum sampai ke sekolah.

Keempat anak itu ditemani seorang guru, Leperia (32) dan warga, Tarianus (44), berangkat dari Kampung Gorottai sekira pukul 07.00 WIB atau satu jam sebelum jadwal masuk sekolah.

Baca: Sidang Praperadilan Novanto, Hakim Kusno: Hari Rabu Pagi Kesimpulan, Sore Langsung Putusan

Keempat anak itu hanya mengenakan pakaian biasa dan membawa tas sekolah tanpa alas kaki.

Seorang anak melintas di Dusun Gorottai lama di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN.
Seorang anak melintas di Dusun Gorottai lama di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Seragam sekolah mereka masukkan di dalam tas sekolah. Demikian pula dengan gurunya.

Ratna dan Klara berangkat dari rumah tanpa meminta uang saku atau uang jajan kepada orangtua mereka, Lukas dan Maryani.

Kakak beradik itu hanya membawa bekal dua pisang goreng pemberian ayahnya dari rumah Sikerei, Uma.

Setelah berkumpul di ujung jalan Kampung Gorottai, keeempat anak tersebut ditemani gurunya dan warga memulai perjalanan ke sekolah.

Pertama kali mereka harus menyeberangi Sungai Terekan selebar 25 meter dengan menaiki pompong--perahu kayu dengan mesin motor tempel bermuatan 10-12 orang duduk sejajar ke belakang.

Guru dan warga selalu mendampingi keberangkatan keempat anak itu ke sekolah karena arus sungai semakin besar dan jalan semakin licin kala musim penghujan seperti November dan Desember ini.

Belum lagi, sebagian sisi kanan dan kiri di jalan lumpur di tengah hutan itu terdapat batang pohon berduri.

Beberapa ranting dan batang pohon berduri itu tumbang dan tersembunyi di dalam jalan berlumpur tersebut.

Baca: Jokowi: Pengakuan Donald Trump Bisa Mengancam Stabilitas Keamanan Dunia

Leperia selaku guru sigap menggendong muridnya, Ratna, saat melewati sebuah kali setinggi paha orang dewasa.

Seorang Sikerei (Dukun suku Mentawai) Goiran Sirisurak (70) makan bersama keluarganya di rumahnya di Dusun Gorottai, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017). Sikerei di Kepulauan Mentawai dipercaya memiliki kekuatan supranatural dan kedekatan dengan roh leluhur sehingga dapat menyembuhkan penyakit. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Seorang Sikerei (Dukun suku Mentawai) Goiran Sirisurak (70) makan bersama keluarganya di rumahnya di Dusun Gorottai, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017). Sikerei di Kepulauan Mentawai dipercaya memiliki kekuatan supranatural dan kedekatan dengan roh leluhur sehingga dapat menyembuhkan penyakit. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (Tribunnews.com/Irwan Rismawan)

"Kalau musim kemarau, saya dan empat anak saja yang berangkat. Kalau hujan rintrik kami juga tetap berangkat. Kami tidak berangkat ke Sekolah Uma dan tetap belajar di sekolah lama kalau sungai meluap dan cuaca buruk," ujar Leperia.

Kali yang pertama berhasil dilewati oleh keempat anak dan guru itu. Nahas, Leperia terpeleset dan tercebur saat meniti batang kayu licin di atas kali kedua yang terbilang dalam.

"Byarrr.. Aduh!" ujar Leperia. Selain basah, sebagian baju yang dikenakannya terkena lumpur.

Beberapa jurnalis juga menjadi "korban" terpeleset di jalan lumpur dan tercebur di kali. Pakaian yang dikenakan telah basah bercampur keringat dan kotoran lumpur.

Bagi mereka yang kali pertama melewati jalur ini, rasa lelah dan licinnya jalan sedikit terobati dengan indahnya suara burung dan pemandangan pepohonan hutan tropis di sepanjang perjalanan.

Selain pepohonan rimbun, beberapa ladang palawija milik warga juga turut mengantar perjalanan ke sekolah. Di antaranya, pohon durian, kakao, cokelat, manau atau rotan, pinang dan nibung.

Setiba di sekolah, keempat anak dan guru mereka tak bisa langsung masuk ke dalam kelas untuk belajar.

Mereka harus membilas kaki yang penuh lumpur di sebuah aliran mata air di belakang sekolah.

Mereka juga tampak sigap mengganti pakaian yang dikenakan dengan seragam sekolah di kelas bagian belakang.

Seorang Sikerei (Dukun suku Mentawai) Goiran Sirisurak (70) beraktivitas di rumahnya di Dusun Gorottai, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017). Sikerei di Kepulauan Mentawai dipercaya memiliki kekuatan supranatural dan kedekatan dengan roh leluhur sehingga dapat menyembuhkan penyakit. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Seorang Sikerei (Dukun suku Mentawai) Goiran Sirisurak (70) beraktivitas di rumahnya di Dusun Gorottai, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017). Sikerei di Kepulauan Mentawai dipercaya memiliki kekuatan supranatural dan kedekatan dengan roh leluhur sehingga dapat menyembuhkan penyakit. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Baca: Suku Mentawai Nasibmu Kini, Jalan Berliku Menuju Fam Sirisurak (1)

Setelah mereka berganti pakaian, mereka duduk di kursi masing-masing.

Fisik bangunan sekolah dan ruang kelas tidak seperti umumnya sekolah di kota besar.

Sekolah Uma Gorottai hanya terdiri dua ruang kelas dengan luas masing-masing sekitar 4x5 meter persegi.

Di dalam ruang kelas hanya terdapat lima pasang meja dan kursi kecil tanpa cat untuk murid hanya lima pasang.

Lantai dan dinding pun hanya berbahan papan. Dan sekolah tersebut hanya beratap seng.

Keempat murid tersebut saat proses belajar di hanya menempati satu ruang kelas demi efektifitas dan efisiensi belajar-mengajar.

Setelah membaca doa bersama, Leperia langsung meminta murid Kelas 4 yang terdiri dari dua orang untuk membuka buku pelajaran Matematika.

Leperia langsung memberikan materi pelajaran dan memberikan tugas di papan tulis putih (white board).

"Mata pelajarannya setiap hari campur-campur. Ada IPA, Matematika dan Bahasa Indonesia. Semisal kita fokus dulu Matematika untuk yang Kelas 2, kalau IPA untuk Kelas 4 bisa dikondisikan dengan meminta muridnya mencatat dahulu," kata Leperia saat ditemui usai mengajar.

Seorang warga memasak di rumahnya di Dusun Gorottai, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN.
Seorang warga memasak di rumahnya di Dusun Gorottai, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Baca: Marianti Berharap Kelima Anaknya Sukses Tanpa Melupakan Adat-istiadat Suku Mentawai

"Intinya, pemberian materi pelajaran ke murid diberikan kepada murid. Di akhir diberi banyak penjelasan supaya fokus. Saya selalu berikan PR (tugas pekerjaan rumah enggak terkejar waktunya di sekolah)," sambungnya.

Leperia mengakui, selain akses jalan yang sulit dan minimnya sarana prasarana pendidikan, ada banyak tantangan lain saat mengajar di sekolah di daerah pedalaman.

"Awalnya mereka belajar di kelas masing-masing. Tapi, agak susah juga mengatur waktunya. Dan terkadang kalau salah satu kelas ditinggal, mereka naik-naik ke rangka atas asbes seng. Karena sering begitu, jadinya belakangan muridnya saya gabung di satu kelas," kata Leperia.

Honor Kecil
Leperia menceritakan, dirinya telah lebih setahun mengajar untuk anak-anak Kampung Gorottai.

Sebagian buku pelajaran yang digunakan merupakan buku pelajaran sekolah lama dan telah banyak sobekan.

Ia rela mengajar di daerah pedalaman meski mendapat honor kecil karena ingin anak-anak Suku Mentawai bisa mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan anak lainnya.

Leperia selalu menyisihkan honornya untuk biaya keluarga dan biaya kuliah. Saat ini, ia tengah menempuh kuliah di Universitas Terbuka jurusan PGSD di pusat Kecamatan Siberu Utara.

Ia pun harus pandai membagi waktu karena segera mengikuti ujian akhir di kampusnya.

"Saya lagi memikirkan bagaimana membagi waktu saat ujian UT dan bersamaan juga dengan ujian anak-anak di sekolah ini. Sedikit pusing untuk bagi waktu buat soal ujiannya," ujarnya.

Saat ini, Leperia bersama YCMM tengah memperjuangkan agar Sekolah Uma Gorottai mendapatkan Nomor Induk dari kantor Dinas Pendidikan kabupaten dengan tujuan lulusan sekolah ini bisa diakui dan melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP.

Sebelumnya, sejumlah murid terpaksa pindah ke sekolah SD di Desa Sirilanggai di dusun tetangga saat naik ke Kelas atau Kelas 6.

Perjalanan puluhan kilometer ke sekolah tersebut dilakukan agar mereka bisa mendapatkan nomor induk siswa dan mengikuti ujian akhir.

Ratna dan adiknya, Klara, adalah satu dari sejumlah anak suku Mentawai yang hidup di pedalaman dan mencoba menimba ilmu untuk meraih cita-citanya.

Keduanya tetap bersemangat bersekolah meski dalam kondisi serba kekurangan sarana prasarana pendidikan, akses jalan hingga penerangan.

Hingga saat ini, keduanya selalu belajar malam hari di rumah meski hanya ditemani temaram pelita.

Ratna yang menyukai pelajaran Bahasa Indonesia dan adiknya yang gemar pelajaran Matematika mempunyai cita-cita sama, yaknu menjadi guru seperti Leperia.

"Aku juga mau jadi Bu guru," ucap Klara.

Koordinator Divisi Pendidikan dan Budaya YCMM, Tarida Hernawati menceritakan, pihaknya bersama warga dan pihak terkait mendirikan Sekolah Uma Gorottai di Dusun Ukra pada Juni 2016.

Pendirian sekolah tersebut dilatarbelakangi ditutupnya sekolah Katholik di kampung mereka, Gorottai, sejak empat tahun lalu karena terus berkurangnya jumlah murid.

Menurut Tarida, meski saat ini jumlah murid Sekolah Uma Gorottai hanya empat orang, hal itu sudah sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 72 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus.

Warga memanen buah pinang di Dusun Gorottai lama di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN.
Warga memanen buah pinang di Dusun Gorottai lama di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (29/11/2017) Dusun Gorottai merupakan salah satu pemukiman yang kurang diperhatikan karena jarak tempuh yang jauh dan kini hanya ada 13 Kepala Keluarga di dusun tersebut dan belum ada listrik yang masuk ke pemukiman tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"YCMM terlibat di Gorottai sejak 2015 karena kami ada program bidang pendidikan yang memfasiliitasi sekolah altenartif di dalam hutan untuk masyarakat yang tidak punya akses. Saat itu kami kerja sama dengan UPTD Dinas Kecamatan Siberut Utara," ujar Tarida.

YCMM ikut tergerak membantu pendirian sekolah untuk anak-anak Gorottai setelah nama Dusun Gorottai dihapus dari daftar administrasi wilayah hingga membuat mereka tidak tersentuh program pemerintah setempat.

Padahal, setiap anak Indonesia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dan hal itu menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sementara itu, para orang tua di Kampung Gorottai merasa cemas jika harus menyekolahkan anaknya di dusun lain karena jarak dan akses yang sangat sulit.

Di sisi lain, YCMM juga memahami masyarakat Kampung Gorottai tetap bertahan di tanah adat mereka saat ada program relokasi, namun dianggap pihak luar sebagai bagian kelompok ekslusi sosial dan pembangunan pemerintah.

"Kami coba cari tahu dan gali apa penyebabnya. Menurut mereka, mereka tidak bisa jauh dari tanah adat mereka karena semu kehidupan mereka ada di situ, seperti ladang dan lainnya. Mereka tidak mau bertaruh dengan menjadi pendatang baru di kampung orang lain," ungkap Tarida.

Setelah dilakukan sejumlah pertemuan dan diskusi, akhirnya ditemukan solusi berupa pendirian sekolah khusus.

Semula, YCMM bersama pihak terkait hanya berupaya agar anak-anak Suku Mentawai fam Sirisurak di Kampung Gorottai bisa menulis dan membaca lewat fasilitas sekolah kecil ini.

Namun, kini lembaga ini berusaha agar Sekolah Uma Gorottai mendapatkan izin operasional dan terdaftar di Dinas Pendidikan setempat sehingga para murid bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP.

"Kami sudah ajukan dua kali, sudah tahun kedua. Itu kami ajukan agar dengan adanya izin operasional, maka sekolah ini sudah punya kekuatan sesuai peraturan," ujarnya. (abdul qodir_bersambung)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas