Terungkap, Guru MTs Puluhan Kali Setubuhi Siswinya di Bantul Kirim SMS 'Ma, Ayo ML'
tidak ada unsur kekerasan dan paksaan antara terdakwa dan korban karena keduanya melakukan hubungan intim didasari suka sama suka.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Poniman (54), seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di sebuah MTS wilayah Imogiri, Bantul yang menyetubuhi anak didiknya sendiri berinisial A (16) divonis penjara 10 tahun dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan oleh Pengadilan Negeri (PN) Bantul atas perbuatanya.
Dalam persidangan, Selasa (6/2/2018) dengan agenda pembacaan vonis, Poniman terbukti melanggar Pasal 81 Ayat 2 karena sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Sementara ayat 3 sebagai dasar tuntutan primer soal tindak kekerasan oleh terdakwa kepada korban tidak terbukti kebenarannya.
Pasalnya, fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa terdakwa dan korban A ternyata melakukan hubungan badan dengan dasar suka sama suka.
"Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan secara terus menerus sebagai perbuatan berlanjut, menjatuhkan pidana kepada terdakwa penjara 10 tahun dan denda Rp 100 juta," kata Ketua Majelis Hakim Subagyo dalam putusannya.
Usai mendengar putusan di hadapan Ketua Majelis Hakim dan Hakim Anggota, Poniman berdiskusi sejenak dengan Penasehat Hukumnya, Yulia Hapsari.
Tak berapa lama, Poniman yang memakai kemeja putih dan peci keluar ruang sidang.
Suasana hening karena nyaris tidak ada pengunjung sidang.
Sayang, baik Poniman maupun Yulia enggan memberikan komentar terkait putusan.
Yulia langsung bergegas meninggalkan ruang sidang.
Sementara Poniman langsung dibawa dengan mobil tahanan bersama beberapa terdakwa lain yang juga menjalani proses persidangan ketika hari itu.
Sementara itu Affif Panjiwologo selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan putusan hakim lebih lama dari tuntutan delapan tahun penjara yang disampaikan JPU.
"Kalau putusan di atas JPU itu menjadi hak hakim, yang penting tuntutan dari JPU sudah tebukti," kata Affif usai persidangan selesai.
Mengenai tidak terbuktinya pasal 3 merujuk pasal 1 Perpu No. 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23/2002 Perlindungan Anak, Affif mengamininya.
Dalam artian, tidak ada unsur kekerasan dan paksaan antara terdakwa dan korban karena keduanya melakukan hubungan intim didasari suka sama suka.
Juga dalam fakta persidangan kemarin, terkuak beberapa hal menarik yang menegaskan perihal tidak adanya unsur paksaan maupun kekerasan dalam kasus ini.
Dimulai dari kedekatan antara korban dan terdakwa yang terbentuk alami karena korban sering curhat dengan terdakwa soal masalah keluarga.
Hubungan badan layaknya suami istri keduanya terjadi sekitar penghujung 2016 sampai Mei 2017.
Terdakwa mengakui mengajak korban untuk berhubungan intim di rumah kosong miliknya daerah Jetis, Bantul.
Setidaknya sudah 10 kali keduanya berhubungan intim di rumah tersebut.
Anehnya, meskipun diawali oleh terdakwa yang meminta hubungan intim dengan kerap mengirim pesan singkat 'Ma, Ayo ML' lalu dijawab korban dengan pesan singkat pula dengan 'Yo, sesuk pak', di beberapa kali hubungan ML justru korban yang meminta terlebih dahulu kepada terdakwa untuk berhubungan.
Korban juga seperti terbuai dengan rayuan terdakwa yang berjanji akan menikahi siri.
Terdakwa yang ingin rahasia tetap terjaga kerap memberi uang kepada korban dengan nominal variatif mulai Rp 100 ribu sampai Rp 350 ribu.
Yang mencengangkan, korban kemudian meminta jatah uang bulanan Rp 150 ribu kepada terdakwa.
Hubungan dekat keduanya makin terlihat ketika korban juga pernah cemburu kepada terdakwa lantaran terdakwa ketahuan bertemu dengan siswi lain yang dicurigai akan dekat dengan terdakwa saat konsultasi.
Dalam situasi ini, korban juga menunjukkan respon tidak terima dengan tidak mau berhubungan intim.(TRIBUNJOGJA.COM)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.