Kisah Warga Meraba Kegelapan Ketika Gunung Sinabung Erupsi
Gunung Sinabung, di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, erupsi Senin (19/2/2018), pukul 08.54 WIB
Penulis: Jefri Susetio
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Medan, Jefri Susetio
TRIBUNNEWS.COM, KARO - Gunung Sinabung, di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, erupsi Senin (19/2/2018), pukul 08.54 WIB. Akibatnya, aktivitas di 10 kecamatan terganggu karena diselimuti hujan debu vulkanik.
Tidak hanya itu, masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Sinabung juga ketakutan. Pasalnya, selama dua jam beberapa kecamatan gelap gulita. Lebih lanjut, suara gemuruh menyerupai jet tempur terdengar kencang.
"Tadi aku sudah pasrah bila Tuhan memanggil. Suara gemuruhnya serupa jet tempur. Kuat sekali. Dan selama dua jam aku meraba, gelap kayak tengah malam pukul 23.00 WIB," Kata Mama Geger Ginting (55), warga Desa Payung, Kecamatan Payung kepada Tribun-Medan/Tribun-Medan.com, Kemarin sore.
Baca: Ada Tanda Merah di Sekujur Tubuh Anak Gadis Sang Ibu Syok Ternyata Ini yang Terjadi
Erupsi Sinabung pada Senin (19/2) pagi merupakan letusan dahsyat dari kurun waktu 2010. Tinggi kolom mencapai 5000 meter. Padahal biasanya, tinggi kolom erupsi sekadar 2500 meter. Kemudian, jarak luncur awan panas ke arah Selatan-Tenggara 4900 meter.
Sedangkan, arah angin ke Barat Selatan. Artinya, debu vulkanik tidak mengarah ke Kota Berastagi, hingga Kota Medan. Tapi, debu vulkanik juga menyelimuti sejumlah kota seperti Sidikalang, Dairi.
Mama Geger Ginting tidak kuasa menaha air mata saat berbincang dengan Tribun-Medan. Berulangkali, perempuan paruh baya itu menyeka air mata. Bahkan, tubuhnya sempat bergemetar ketika bercerita erupsi Gunung Sinabung itu.
"Waktu erupsi tadi aku sedang di ladang, jaraknya 3,5 meter dari gunung. Aku sendirian di ladang menanam cabai. Tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh, ada gempa. Lalu aku menjerit sekencang-kencangnya," ujarnya.
Tidak lama terdengar suara gemuruh, lanjut dia, suasana di lokasi gelap, seperti tengah malam. Ia berlari tidak menentu arah, menjerit minta tolong. Alhasil, sekujur tubuhnya diguyur debu vulkanik serta kericil kecil.
Setelah berlari selama 30 menit, ia bertemu masjid di Desa Perbaji, Kecamatan Tiga Nderket. Karena itu, dia mendekam di dalam masjid bersama beberapa orang. Lalu, mereka pulang ke rumah saat hujan debu telah berakhir.
Ia menceritakan, belasan orang di dalam masjid tidak henti berdoa. Tidak sedikit anak-anak merengek lantaran ketakutan. Oleh sebab itu, mereka saling menenangkan. Apalagi, antar keluarga saling berpisah-pisah.
"Banyak yang menangis karena berpencar-pencar sama anggota keluarga. Cangkol dan bontot makanan pun aku tinggal di ladang. Selepas hujan debu aku jalan kaki pulang ke rumah," katanya.
Dia bermohon adanya bantuan dari Pemerintah Tanah Karo karena tanaman cabai dan kopi terancam mati. Padahal, penghasilannya dari bercocok tanam. Kerugian diprediksi mencapai Rp 10 juta.
"Binggung aku mau makan dari mana. Tanaman mati. Selama ini, penghasilan dari hasil berladang. Binggung ini. Rasanya stress," ujarnya.