KP2KKN Jawa Tengah: Gaji dan Tunjangan Besar Tapi Masih Pungli, Itu Bukti Kerakusan
Penangkapan tersebut terkait dugaan telah menerima suap atau melakukan pungutan liar kepada masyarakat yg sedang mengakses pelayanan publik di BPN
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Jateng, M Zainal Arifin
TTIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah sangat mengapresiasi langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Semarang yang telah melakukan operasi tangkap tangan terhadap beberapa pegawai BPN Kota Semarang.
Penangkapan tersebut terkait dugaan telah menerima suap atau melakukan pungutan liar kepada masyarakat yg sedang mengakses pelayanan publik di BPN Kota Semarang.
Menurut Ketua Divisi Korupsi Politik KP2KKN Jawa Tengah, Ronny Maryanto, Kejari Semarang selangkah lebih maju daripada aparat Kepolisian yang mulai cooling down dalam melakukan pemberantasan pungutan liar.
"Namun kami menyayangkan statemen dari Kepala Kejari Semarang yang pada intinya menyatakan bahwa biaya pemeriksaan perkara dikeluarkan oleh negara tidak sebanding dengan uang hasil rampasan," katanya, Rabu (7/3/2018).
Menurut Ronny, masalahnya bukan berapa biaya yang harus dikeluarkan negara untuk menangani perkara ini. Akan tetapi masalah penyalahgunaan kewenangan atau jabatan untuk kepentingan sendiri yg merugikan masyarakat.
"Pungli yang dilakukan oleh pegawai BPN Kota Semarang ini bukan dikategorikan korupsi karena kebutuhan (by need) tetapi karena kerakusan (by Greedy)."
"Mereka sudah menerima gaji bulanan dan tunjangan-tunjangan besar cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi gaji tersebut belum cukup untuk memenuhi nafsu keserakahan mereka."
"Dampak penyalahgunaan jabatan ini membuat rusaknya reputasi lembaga pemerintah di mata publik," ucapnya.
Potensi pungli di BPN itu sendiri muncul karena buruknya pelayanan BPN Kota Semarang, atau memang ada kesengajaan untuk dibuat buruk? sehingga keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk “meminta” pungutan.
Ronny mengatakan, buruknya layanan ini disebabkan karena tidak adanya jaminan kepastian jangka waktu pengurusan sertifikat kepemilikan tanah.
Ketidakpastian jangka waktu ini menyebabkan potensi penyalahgunaan kewenangan atau jabatan terjadi. (*)