Perusahaan Fintech Diduga Salah Gunakan Data di Ponsel Peminjam Uang, Korban Berjumlah Ratusan
Namun, pasal itu tidak mengatur rinci soal penyalahgunaan data pribadi oleh pihak lain setelah sebelumnya diberi izin untuk mengakses data pribadi.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG-Pengguna aplikasi aplikasi pinjaman online atau financial technology (fintech) diduga jadi korban penyalahgunaan data pribadi oleh perusahaan-perusahaan penyedia pinjaman online berupa aplikasi-aplikasi berbasis sistem operasi android. Jumlahnya diyakini mencapai ratusan.
Data pribadi mereka di dalam ponsel diduga disalah gunakan. Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 26 ayat 1 dan 2 mengatur soal tersebut.
Namun, pasal itu tidak mengatur rinci soal penyalahgunaan data pribadi oleh pihak lain setelah sebelumnya diberi izin untuk mengakses data pribadi.
Modusnya, setiap orang harus menginstal aplikasi-aplikasi fintech di Playstore atau App Store di Apple terlebih dulu untuk meminjam uang.
Saat menginstal, aplikasi itu meminta izin untuk mengakses daftar kontak telpon, SMS, panggilan telpon, galeri, hingga perangkat ponsel si calon peminjam.
Jika tidak diizinkan, maka aplikasi peminjaman uang itu tidak bisa digunakan. Si calon peminjam diwajibkan mencantumkan nomor telpon yang bisa dihubungi.
Pantauan Tribun dalam satu aplikasi, Tangbull misalnya, setelah menginstal, terdapat sembilan s ketentuan. Salah satunya, penyelenggara dengan persetujuan pengguna (peminjam), untuk mengakses, memperoleh, menyimpan, mengelola dan atau menggunakan data pribadi.
Setelah ketentuan itu disetujui, peminjam tinggal mengikuti intruksi peminjaman dana. Dana yang disediakan, dari banyaknya aplikasi fintech, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 20 juta lebih.
Salah satu peminjam, Elis Widaningsih (40) warga Kabupaten Bandung menjelaskan, setiap peminjam setelah menginstal aplikasi, wajib mengizinkan aplikasi itu untuk mengakses data kontak, SMS, galeri, perangkat ponsel hingga pengelolaan telpon.
"Untuk aplikasi Tangbull misalnya, wajib mencantumkan nomor telpon. Lalu tinggal tentukan berapa uang yang dipinjam. Setelah itu, saya ditelpon pemberi pinjaman untuk verifikasi data diri. Kemudian mengupload foto KTP di aplikasi serta mengupload foto kita sedang memegang KTP. Ada lagi, aplikasi itu merekam saya sedang memegang KTP dengan menggerak-gerakan tubuh. Alasannya untuk verifikasi," ujar Elis via ponselnya, Rabu (1/8).
Tidak ada proses survey ke lokasi tempat tinggal, tempat bekerja atau permintaan struk gaji sebagaimana dalam proses pinjaman ke perbankan pada umumnya.
"Peminjaman disetujui tidak butuh waktu lama, dalam hitungan jam langsung cair. Ditransfer ke rekening sendiri, ada yang prosesnya hitungan menit ada juga yang hitungan jam," ujar Elis.
Untuk pembayaran, mayoritas aplikasi fintech memberikan tenggat waktu hingga 14 hari namun tidak dicicil. "Saya pinjam Rp 1 juta, cairnya Rp 920 ribu dibayar 7 hari kemudian sebesar Rp 1 juta delapan puluh ribu," katanya. Rina meminjam uang pada lebih dari satu aplikasi.
Awalnya, pembayarannya lunas karena bisnisnya lancar. Namun, lama kelamaan bisnisnya bermasalah sehingga sulit membayar. Namun hutang tetap harus dibayar.
"Untuk membayar hutang, akhirnya saya pinjam uang lagi ke aplikasi fintech lainnya. Istilahnya gali lobang tutup lobang sampai akhirya hutang saya membengkak," ujar Elis. Hal sama dialami oleh Rina dan Aa.
Sejumlah peminjam yang ditanyai soal proses peminjaman mengatakan hal yang sama. Seperti Rina Wahyuni (36) warga Babakan Sari Kota Bandung dan seorang pria berinisial Aa (38) warga Sekeloa Kota Bandung.
"Proses Peminjaman di semua aplikasi sama. Harus izinkan aplikasi untuk akses perangkat ponsel kita, upload KTP dan foto peminjam memegang KTP merekam video sedang memegang KTP serta ditelpon oleh pemberi pinjaman," ujar Aa via ponselnya.Dia meminta Tribun untuk tidak menyebutkan identitas namanya namun berkenan wawancaranya dikutip.
Hal senada dikatakan Rina. "Prosesnya sama, pencairanya tidak butuh waktu lama," ujar Rina via ponselnya. Elis, Rina dan Aa menyebut denda per hari mencapai 0,7 persen hingga 25 persen dari total tunggakan.
Masalah datang saat pembayaran telat. Pemberi pinjaman ini kata Elis, Rina dan Aa, menyebar pesan tagihan tersebut via SMS ke semua nomor kontak yang ada di ponsel si peminjam. Dalam foto capture pesan penagihan yang diterima Tribun misalnya, salah satu kutipan kalimat penagihannya.
"Tagihan anda Rp 1,328 juta sudah lewat jatuh tempo 14 hari. Bayarkan Lunas. Hari ini menghindari kami, tagihan hutang anda langsung ke almat rumah, tetangga, kantor dan HRD, ke semua kerabat dan kontak aktif anda. Harap korperatif untuk penagihan kami,"'
Baik Elis, Rina dan Aa kaget mendapat perlakuan penagihan. Pasalnya, ia tidak merasa memberikan kontak telpon teman-temannya pada si pemberi pinjaman. "Saya baru sadar ternyata si fintech diberi izin oleh saya untuk mengakses kontak telpon saya agar saat macet, mereka bisa menagih ke teman-teman saya via SMS. Akhirnya teman saya tahu. Padahal saya bukan tidak sanggup bayar, cuma cara penagihannya itu menyalahgunakan izin yang saya berikan pada mereka," ujar Elis. Rina dan Aa baru menyadari soal ini setelah ia mengizinkan aplikasi fintech ini mengakses data kontak telpon.
Hal yang sama dialami oleh Aa. Teman-temannya dikirimi pesan singkat oleh si pemberi pinjaman ihwal Aa belum melunasi pinjaman. Penagih kadang menghubungi Aa, pada beberapa waktu penagih menggunakan nomor telpon luar negeri.
"Teman-teman saya pada tahu bahwa mereka ditagih hutang saya. Kadang mereka juga menagih dengan pesan ancaman, pada saya dan teman-teman saya via SMS. Saat saya hubungi pengirim pesannya, tidak bisa dihubungi," ujar Aa.
Selain itu, Rina menambahkan, semua kontak telpon di ponselnya yang menggunakan aplikasi Whats App, dikumpulkan dalam satu grup Whats app oleh si pemberi pinjaman. Di grup itu, si pemberi pinjaman menagih utang Rina.
"Si penagih bikin grup WA, isinya semua kontak telpon yang ada di ponsel saya. Di grup itu, mereka menagih hutang-hutang saya dan itu tidak membuat saya nyaman. Saya merasa mereka menyalahgunakan data kontak pribadi saya, meskipun dari awal saat menginstal sudah saya izinkan," ujarnya. Rina mengalami apa yang dialami Elis, begitu juga dengan Aa.
"Mereka juga menagih hutang ke teman-teman saya via SMS dan telpon," ujar Rina dan diamini pula oleh Aa. Sedari awal, mereka tidak diberitahu konsekuensi dari mengizinkan aplikasi Fintech itu mengakses kontak telpon dan lain sebagainya.
"Sewaktu kami menginstal, kami tidak diberitahu bahwa mereka mengakses kontak telpon ini untuk menagih hutang ke semua teman-teman kami via SMS," ujar Elis diamini oleh Rina dan Aa.
Karenanya, Elis, Rina dan Aa dan korban-korban lainnya yang mengalami nasib serupa akan mendatangi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jabar pada Kamis (2/8).
"Kami ditemani tim kuasa hukum akan berkoordinasi dengan OJK soal langkah-langkah hukum yang perlu ditempuh terkait hal ini," ujar Elis.
Dikutip dari situs resmi OJK, saat ini perusahaan fintech yang tercatat resmi di Fintech mencapai 51 perusahaan fintech. "Fintech yang saya pakai setelah saya lihat di OJK memang tidak terdaftar," ujarnya.
OJK sendiri dalam siaran persenya pada 27 Juli menyebut ada 227 entitas yang melakukan usaha peer to peer lending tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dalam penawaran produk fintech peer to peer lending sehingga berpotensi merugikan masyarakat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.