Ini Pertimbangan Jaksa Cabut Hak Politik Abubakar, Mantan Bupati Bandung Barat
Pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan sudah diatur dalam ketentuan perundang-undangan
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Bupati Bandung Barat Abubakar dengan pidana 8 tahun penjara, denda Rp 400 juta serta uang pengganti Rp 601 juta, dalam sidang tuntutan di ruang 1 Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Senin (5/11).
Tidak hanya itu, jaksa juga menuntut hakim untuk mencabut hak untuk memilih dan dipilih Abubakar selama tiga tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Jaksa KPK, Budi Nugraha dalam pertimbangan soal pencabutan hak politik itu menjelaskan, Abubakar yang menerima gratifikasi senilai Rp 1,29 miliar melakukan tindak pidana korupsi gratifikasi saat menjabat sebagai bupati periode 2013-2018 yang dipilih langsung oleh rakyat.
"Bahwa sudah barang tentu masyarakat memiliki harapan besar agar terdakwa secara politis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kepercayaan masyarakat Bandung Barat," ujar Budi.
Hanya saja, tujuan itu kata Budi, tercederai dengan perbuatan terdakwa yang menerima uang gratifikasi Rp 1,29 miliar yang diperuntukkan untuk pemenangan istrinya, Elin Marliah yang maju di Pilkada Bandung Barat 2018 bersama Maman Sulaeman Sunjaya.
Baca: Waspadalah, Tiga Cuaca Ekstrem Ini Bisa Terjadi di Jawa Barat
"Namun, perbuatan terdakwa sudah barang tentu mendederai kepercayaan publik yang diberikan kepadanya dan pada saat bersamaan semakin memperbesar public distrust kepada penyelenggara negara. Sehubungan dengan hal itu, terhadap terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak-hak tertentu dalam hal ini pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik," ujar jaksa.
Baca: Ucapkan Terimakasih ke Pelanggan hingga Disindir 'Uang Rakyat', Kaesang Pangarep: Serius Amat Mbak
Jaksa menambahkan, pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan sudah diatur dalam ketentuan perundang-undangan, baik di KUH Pidana dan Undang-undang Pemberantasan Tipikor.
"Kemudian sejalan dengan kesimpulan rapat kerja tehnis gabungan Mahkamah Agung yang digelar pada 21-23 Maret 1985 di Yogyakarta yang menyimpulkan bahwa penjatuhkan pidana yang terlalu ringan tidaklah mendukung politik kriminal di Indonesia. Dengan demikian untuk beberapa pidana perlu dipidana lebih tinggi, dan salah satu tindak pidana yang perlu mendapat perhatian dalam penjatuhan pidananya antara lain tindak pidana korupsi," kata dia. (men)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.