90 Organisasi Menolak Kriminalisasi Terhadap Penulis Balairung Press yang Ungkap Pelecehan Seks
90 organisasi menolak adanya upaya kriminalisasi terhadap penulis artikel berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan.
Editor: Sugiyarto
Seperti siapa saja narasumber yang ditemui, di mana menjumpainya, apa yang disampaikan oleh si narasumber.
"Bahkan ada pertanyaan aneh yang dimunculkan oleh penyidik, apakah berita ini benar atau hoax?," ujar Yogi.
Materi dengan pertanyaan seperti itu, menurut Yogi tidak selaras dengan unsur-unsur pasal yang digunakan sebagai basis penyidikan yaitu pasal 285 dan pasal 289 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Ia berpendapat bahwa dalam kasus Agni posisi BPPM Balairung hanya sebagai pewarta yang mencari berita dan kerja seorang pewarta terikat dengan kode etik jurnalistik (KEJ) serta Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
Kata Yogi, dalam pasal 4 ayat 4 UU no 40/1999 dinyatakan dalam pertanggungjawaban pemberitaan di depan hukum, wartawan punya hak tolak.
"Hak tolak ini melekat pada wartawan. Karena hak tolak ini adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Saya tidak tahu apakah polisi membaca Undang-undang ini atau tidak," ucap dia.
Yogi menilai ada kesan penyidik seolah tengah mempersoalkan BPPM Balairung. Hal itu tampak dari pernyataan salah satu pejabat di Polda DIY di media massa yang memberikan statement bahwa yang dimuat oleh Balairung ada indikasi berita bohong atau hoax dengan nomenklatur kalimat pemerkosaan.
Ada upaya mempersoalkan Balairung. Padahal persma harusnya bagian dari pers dan mestinya dilindungi oleh undang-undang.
"Kami menilai bahwa ada yang kemudian gagal paham oleh pejabat Polda DIY," tutur dia.
Ketua LBH Pers Yogyakarta, Pito Agustin mengatakan frasa perkosaan yang digunakan dalam berita Balairung berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan sudah sesuai dengan definisi yang dirilis oleh komisi Nasional (Komnas) perempuan.
Menurutnya, perkosaan dapat diidentifikasi dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis kearah Vagina, anus, maupun mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya.
"Saya pikir sudah cukup kesekian kalinya polisi offside. Jika ada persoalan tulisan kemudian polisi memanggil penulis untuk dimintai keterangan. Ini jadi preseden buruk terhadap media massa maupun kawan Jurnalis," katanya.
"Tugas kepolisian melakukan penyidikan bukan penghakiman terhadap produk jurnalis," imbuh dia.
Ditambahkan oleh Koordinator Divisi Advokasi AJI Yogyakarta, Tomi Apriando mengungkapkan pemanggilan penulis sebagai saksi di kepolisian bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.