Ini Penampakan Gunung Merapi Terbaru Usai Keluarkan Wedhus Gembel
Awan panas guguran di Gunung Merapi terjadi pada pukul 7.32 WIB dengan jarak luncur 200 meter ke arah Kali Gendol dan tinggi asap 400 m.
Editor: Hendra Gunawan
Setelah dipetakan, erupsi 11 Mei dan 21 Mei 2018 masing-masing menghasilkan material piroklastik sebesar 30.000 M3 dan 40.000 M3. Artinya ukuran besar erupsinya dalam skala VEI 1, di mana volume material yang dikeluarkan antara 10 ribu – 1 juta M3.
Bandingkan dengan erupsi 2010 dengan VEI 4, produk material yang dikeluarkan mencapai > 100 juta M3. Erupsi dengan skala VEI 1 hanya mengakibatkan deformasi < 3 mm di puncak.
Sementara jaringan monitoring Merapi saat ini baru mampu mengukur hingga ketelitian 10 mm, sehingga perubahan 3 mm tidak terdeteksi.
Deformasi sebesar itu hanya bisa ditimbulkan oleh erupsi skala VEI 2 atau lebih, dengan mengeluarkan volume material > 1 juta M3. Itulah mengapa beberapa kali erupsi minor pasca erupsi 2010 tidak terdeteksi gejala awalnya.
Kejadian erupsi seperti ini bukan hal yang aneh. Banyak contoh erupsi minor/freatik di gunungapi lain di dunia yang tidak terdeteksi gejala awalnya sehingga tidak ada peringatan dini.
Contoh aktual di Gunung Ontake, Jepang yang meletus pada 27 September 2014 hingga menimbulkan korban 30 orang meninggal.
Proses erupsi yang terjadi di Gunung Merapi saat ini
Untuk menjelaskan proses erupsi perlu mengetahui sistem saluran pipa magma (plumbing system) Merapi dan bagaimana migrasi fluida magma ke permukaan.
Berdasarkan hiposenter gempa vulkanik Merapi, ditemukan zona aseismik pada kedalaman sekitar 1 km dari puncak, yang memisahkan lokasi gempa vulkanik dalam dan vulkanik
dangkal, diinterpretasikan sebagai kontong magma dangkal.
Sementara dapur magma diperkirakan pada kedalaman > 5 km dari puncak.
Perlu diketahui, migrasi magma ke permukaan dikontrol kandungan unsur volatile (yang mudah menguap) dalam magma yang didominasi oleh H2O, CO2 dan SO2.
Pada awal bergerak naik dari dapur magma, magma dalam kondisi tidak jenuh unsur volatile. Selama magma bergerak naik, akan mencapai batas kejenuhan, sedemikian sehingga kandungan unsur volatile awal sama dengan batas kelarutan.
Ketika tekanan menurun, magma menjadi superjenuh, mengakibatkan unsur volatile terpisah dari larutan, kemudian membentuk gelembung-gelembung gas (bubbles).
Ketika mencapai kantong dangkal, gelembung gas terakumulasi kemudian terjadi turbulensi yang menggerus dinding batuan yang melingkupinya.
Turbulensi inilah yang menyebabkan getaran terasa hingga 10 km jauhnya. Setelah terjadi overpressure, tekanan gas melampaui kekuatan material penyumbatnya, sehingga terjadi erupsi eksplosif.
Produk material erupsinya masih dominan material lithic (lama), bukan juvenile (baru).
Berdasarkan hasil analisa produk erupsi menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) di BPPTKG, produk erupsi 11 Mei didominasi material lama (lithic) dan kristal teralterasi, sedangkan produk erupsi 21 Mei 2018 didominasi kristal plagioklas sebagai indikasi material juvenile (magma baru).
Hasil inilah merupakan indikasi awal akan terjadi erupsi magmatis.
Dengan munculnya kubah lava baru pada 12 Agustus 2018, terbukti, rentetan erupsi minor akan diikuti erupsi magmatis. Migrasi magma ke permukaan memang berjalan lambat, karena miskin gas.
Erupsi magmatis 2018 bisa dimaknai Gunung Merapi memasuki siklus aktivitas baru dan kemungkinan erupsinya akan kembali ke watak semula yang dicirikan kubah lava dan awan panas guguran.
Namun demikian pertumbuhan kubah saat ini rendah, rata-rata 5.000 m3/hari, di mana normalnya mencapai 20.000 m3/hari.
Ada dua kemungkinan erupsi yang akan terjadi, yaitu pertama terbentuk kubah lava kemudian erupsi berhenti. Kedua pertumbuhan kubah lava berlanjut hingga mencapai volume kritis, kemudian longsor membentuk awan panas guguran.
Bagaimana implikasi ancaman ke depan dan mitigasinya?
Ada dua implikasi ancaman ke depan yaitu ancaman jangka pendek dan jangka panjang.
Ancaman jangka pendek apabila kemungkinan kedua terjadi yaitu kubah lava tumbuh hingga mencapai volume kritis, kemudian longsor membentuk awan panas.
Mengingat bukaan kawah ke arah tenggara, kemungkinan besar awan panas masih akan mengarah ke sektor Kali Gendol.
Baca: Cuma Butuh 80.000, Jumlah Pendaftar Sukarelawan Olimpiade Jepang Membeludak hingga 204.000 Orang
Oleh sebab itu Desa Kinahrejo, Desa Glagaharjo. Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman serta bila terjadi penyimpangan awan panas, Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten merupakan wilayah yang paling rentan.
Langkah-langkah mitigasi yang perlu dilakukan untuk antisipasi ancaman jangka pendek yaitu pertama, sosialisasi kepada warga di wilayah yang paling rentan untuk menjelaskan kondisi terkini Gunung Merapi dan simulasi peringatan dini.
Kedua, memperbaiki rencana kontijensi berdasarkan skenario yang lebih realistik. Ketiga, memperkuat system informasi dan komunikasi untuk mengantisipasi hoax dan berita palsu mengenai aktivitas Gunung Merapi.
Apabila erupsi Gunung Merapi kembali ke watak semula, artinya dalam beberapa dekade ke depan akan terjadi erupsi rata-rata statistic 4 tahun sekali, dominan ke arah sektor tenggara-selatan meliputi K. Gendol (yang utama), K. Boyong dan K. Woro.
Mitigasi jangka panjang yang harus dilakukan adalah menyusun/menegakkan peraturan daerah terkait dengan tata ruang wilayah berbasis mitigasi bencana sebagaimana diamanatkan oleh UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Pascabencana erupsi 2010, telah terbit Perpres No. 70/2013 tentang Kawasan Strategis Nasional Taman Nasional G. Merapi yang mengatur pola dan struktur ruang berbasis Peta Kawasan Rawan Bencana G. Merapi.
Peraturan dan kebijakan yang sudah ada memang tidak sempurna, tetapi sudah cukup memadai untuk upaya pengurangan risiko bencana Gunung Merapi di masa mendatang. ( Tribunjogja.com | Xna | Iwe )
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Penampakan Puncak Gunung Merapi Seusai Luncurkan Awan Panas dan Mengenali Karakteristiknya