Kisah Sukses Pemulung Jadi Petani Porang Beromzet Miliaran Rupiah, Ingin Umrohkan Warga 1 Desa
Berikut kisah sukses Paidi, mantan pemulung jadi petani Porang beromzet miliaran rupiah.
Editor: Sugiyarto
Dari pencariannya di dunia maya, Paidi menyimpulkan porang merupakan kebutuhan dunia.
Melihat peluang itu, Paidi mulai memutar otak. Sebab, tanaman porang yang dikembangkan di Saradan rata-rata tumbuh harus di bawah naungan pohon lain.
Kondisi itu menjadikan panen tanaman porang memakan waktu yang lama hingga tiga tahun.
Saat hendak mengembangkan porang di kampung halamannya, Paidi mengalami kendala lantaran kondisi lahan pertaniannya berbukit-bukit.
Padahal, rata-rata petani porang di wilayah lain mengembangkan tanaman itu di bawah naungan pohon keras seperti pohon jati.
Berbekal pencarian di Google, Paidi mendapatkan banyak ilmu tentang bagaimana mengembangkan porang di lahan pertanian terbuka.
Hasil pencarian itu lalu dikumpulkan dalam satu catatan yang dinamai sebagai revolusi tanam baru porang.
"Menanam porang rata-rata harus di bawah naungan. Di sini, menanam tanpa harus naungan. Kami menggunakan revolusi pola tanam baru," kata Paidi.
Paidi mengatakan, dengan revolusi tanam baru, hasil panennya berbeda jauh dengan pola tanam konvensional yang mengandalkan di bawah naungan pohon.
Ia membandingkan kalau menggunakan pola tanam konvensional, satu hektar dapat menghasilkan panen tujuh sampai sembilan ton.
Sementara dengan revolusi pola tanam intensif, satu hektar bisa mencapai panen 70 ton.
"Kalau pakai pola tanam konvensional, panennya paling cepat tiga tahun. Sementara dengan pola tanam baru bisa lebih cepat panen enam bulan hingga dua tahun dan hasilnya lebih banyak lagi," ujar Paidi.
Dia mengatakan, bila menggunakan pola tanam konvensional tidak akan bisa mengejar kebutuhan dunia.
Apalagi, pabrik pengelola porang makin menjamur dengan total kebutuhan sehari bisa mencapai 200 ton.