Tebang Pohon di Tanah Ulayatnya, Seorang Suku Sakai Ditangkap dan Terancan Penjara 1 Tahun
Gara-gara menebang pohon di wilayah tanah ulayatnya, seorang petani dari masyarakat adat suku Sakai
Editor: Hendra Gunawan
Luas lahan yang di kelola Bongku sebesar setengah haktare.
Penasehat hukum Bongku dalam persidangan juga menghadirkan enam orang saksi yang meringankan.
Mereka merupakan masyarakat adat suku sakai, serta saksi lainya yakni Batin Pembumbung dan Mantan Humas perusahaan.
Menurut Rian, saksi meringankan menerangkan bahwa lokasi kejadian merupakan lahan perjuangan masyarakat suku Sakai yang sejak dulu sudah menjadi tanah ulayat mereka.
Luas lahan ulayat ini sekitar 7.158 haktare berasal dari hasil perjanjian mediasi dan disepakati bersama dan sampai saat ini belum terselesaikan oleh pemerintah.
"Kita juga hadirkan ahli pidana pada sidang pembuktian sebelumnya, dimana yang kita hadrikan yakni Dr Ahmad Sofian, SH, MA. Keterangan ahli ini menjelaskan tentang muatan dari UU P3H yang diterapkan kepada terdakwa," terang Rian.
Menurut dia, dari keterangan ahli pada intinya UU P3H dibentuk untuk kejahatan yang terstruktur dan teroganisir bukan untuk masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan.
Sementara dalam nota pembelaan yang disampaikan kemarin, penasehat hukum berpendapat bahwa JPU tidak tepat dalam menggunakan pasal dalam UU P3H karena undang undang ini hanya tepat digunakan bagi perusahaan besar, cukong dan pelaku perusakan hutan dengan skala besar.
UU P3H tidak tepat digunakan kepada masyarakat tempatan atau masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan dan hasil pertanian.
"Dalam fakta persidangan yang terungkap, tidak satupun fakta yang menjelaskan bahwa Terdakwa melakukan penebangan pohon yang bertujuan untuk merusak hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 92 ayat (1) huruf c, 82 Ayat (1) huruf b dan c Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H yang didakwakan jaksa.
Terdakwa melakukan penebangan bertujuan untuk berladang tradisional, menaman Ubi Kayu, Ubi Menggalo yang merupakan makanan tradisional Masyarakat Adat Sakai.
Bahkan berladang tradisional yang dilakukan terdakwa ini tidak akan menimbulkan kerusakan hutan. Karena Suku Adat Sakai memiliki Tradisi untuk menjaga ekosistem hutan, alam dan lingkungan," tegasnya.
Penasehat hukum juga menghadirkan alat bukti yang dilampirkan dalam nota pembelaan.
Bukti yang dihadirkan yakni terkait dengan sejarah konflik juga bukti mediasi yang dilakukan antara Perusahaan dengan Masyarakat suku Sakai.