Kisruh Tanah 33 cm di Sragen, Peradi Sebut Tak Perlu Dibawa ke Ranah Hukum: Hanya Gengsi Pribadi
Soal kasus sengketa tanah 33 cm di Sragen, Ketua Peradi Solo sarankan tak perlu dibawa ke ranah hukum.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Pravitri Retno W
Sementara itu, Badrus membenarkan sengketa tanah ini bisa saja diselesaikan secara hukum.
Namun, ia tetap menekankan, sengketa tanah tersebut sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan.
Baca: Kronologi Wartawan Senior Dipanggil Polda Bali Terkait Kasus Sengketa Tanah, Dituduh Menyerobot
Pasalnya, Badrus menjelaskan, nantinya di pengadilanpun wajib dilakukan mediasi dalam menangani kasus ini.
"Walaupun nanti di pengadilan itu harus ada mediasi. Itu wajib dilakukan kalau sudah masuk di wilayah peradilan," jelasnya.
"Makanya, menurut saya, kalau bisa diselesaikan di daerah dulu, harus diselesaikan di daerah," sambung Badrus.
Kronologi Kisruh Tanah di Sragen
Dilansir Tribun Solo, dua warga yang terlibat sengketa tanah ini di antaranya yaitu Suparmi (61) dan Suprapto.
Menurut Suparmi, sengketa tanah bermula ketika anaknya sakit.
Namun, ia mengaku lupa tahun persisnya.
Yang jelas, Suparmi mengatakan, sengketa tanah dan tidak akurnya dia dan tetangga sebelahnya itu sudah berlarut selama bertahun-tahun.
"Awalnya anak saya sakit, butuh biaya operasi, sehingga saya menjual tanah itu," katanya saat ditemui TribunSolo.com pada Kamis (16/7/2020).
"Saat disertifikatkan, ternyata sisa luas tanah dan yang ada di sertifikat berbeda," imbuhnya.
Suparmi yang kukuh dengan sisa luas tanah yang ia miliki, lalu membangun sebuah tembok sekira di tahun 2000-an awal.
Masalahnya, tembok yang dia bangun melewati ukuran yang digariskan oleh kelurahan.