Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Awali Bisnis Warkop, Pria Ini telah Memiliki 700 Warteg dan Dampak Pandemi pada Bisnisnya

Tidak hanya memiliki cabang warteg di Jabodetabek, Yudi juga membuka di daerah lain seperti Bandung, Semarang, Purwokerto, Kudus hingga Palembang 

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Awali Bisnis Warkop, Pria Ini telah Memiliki 700 Warteg dan Dampak Pandemi pada Bisnisnya
Dokumentasi Pribadi Sayudi
Sayudi atau yang memiliki nama panggilan Yudi (48), saat berada di depan salah satu cabang Warteg Kharisma Bahari (WKB) miliknya yang berlokasi di Jalan Raya Ragunan, Jakarta Selatan. 

Laporan Wartawan Tribun Jateng Desta Leila Kartika

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Warung Tegal (warteg) keberadaannya hampir bisa ditemui di tiap daerah tak terkecuali Kota Besar seperti Jakarta. 

Warteg identik dengan "wong Tegal" karena mayoritas pemiliknya adalah warga Tegal yang merantau kemudian membuka usaha warteg. 

Salah seorang yang sukses dalam bisnis ini adalah Sayudi.

Kerja kerasnta selama puluhan tahun kini dia memiliki 700 warteg di seluruh Indonesia.

Saat dihubungi Tribunjateng.com via sambungan telepon karena yang bersangkutan sedang menetap di Cilandak Jakarta Selatan, Yudi menceritakan kisahnya sejak awal merintis usaha warteg sampai bisa mencapai titik sekarang ini. 

Yudi merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, kedua orangtuanya sang ayah bernama H. Sobari dan ibu Hj. Soliha sudah meninggal dunia. 

Berita Rekomendasi

Semasa hidup, kedua orangtua Yudi juga merantau di Jakarta bamun tidak membuka warteg melainkan usaha yang lain yaitu membuka warung kopi.

Saat Yudi lahir, kedua orangtuanya sudah kembali ke kampung halaman di Desa Sidakaton, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal. 

Baca juga: Pengunjung Pasar, Mal, Hingga Warteg di Jakarta Wajib Sudah Vaksin, Ini Aturan Terbaru PPKM di DKI

Singkat cerita, Yudi kecil tidak mau melanjutkan sekolah dan hanya tamat SD.

Ia berpikir jika hidup di Jakarta jauh lebih enak karena uang jajan lebih banyak sedangkan dia sendiri yang anak seorang petani di Desa uang saku paling hanya 5 perak saat itu. 

Ketika jajan uang yang dipunya hanya cukup untuk jajan, semisal es atau gorengan saja.

Dari situlah Yudi kecil beranggapan bahwa hidup di Jakarta itu enak dan terkesan memiliki banyak uang. 

Akhirnya ia menolak untuk melanjutkan sekolah dan lebih memilih ingin merantau ke Jakarta mencari uang. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas