Viral Video Anggota TNI Bentrok dengan Petani di Sawah, Penjelasan Kodam hingga Kepala Desa
Dalam video itu, sejumlah anggota TNI berseragam terlibat bentrok dengan sejumlah petani di sebuah sawah. Aksi saling dorong tak terhindarkan.
Penulis: Daryono
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - Viral di media sosial video yang memperlihatkan kericuhan antara anggota TNI dengan petani.
Dalam video itu, sejumlah anggota TNI berseragam terlibat bentrok dengan sejumlah petani di sebuah sawah.
Aksi saling dorong tak terhindarkan.
Bahkan terjadi aksi pemukulan.
Jerit dan tangisan pun terdengar.
Baca juga: Bentrok Antar Remaja di Percut Sei Tuan Sumut, Seorang Warga Tewas Tertembak Air Softgun
Video tersebut beredar di media sosial dan di antaranya diunggah @MurtadhoRoy, Rabu (5/1/2021)_.
Kejadian tersebut rupanya terjadi di Dusun Saor Matio, Desa Seituan, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (4/1/2022).
Bentrok terjadi antara Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopkar) A Kodam I/Bukit Barisan dengan petani.
Kronologi pihak TNI
Dikutip dari TribunMedan, Sekum Puskopkar A Bukit Barisan, Letkol Caj Drs Wendrizal membeberkan kronologi bentrokan yang terjadi.
Bentrok itu bermula dari pihaknya yang hendak memasang plang pemberitahuan bahwa lahan tersebut milik Kodam I/BB berdasarkan keputusan Mahkamah Agung.
Diterangkan Wendrizal, awalnya sekira pukul 07.15 WIB ia memimpin personel Puskopar dan Yonzopur I/DD untuk melaksanakan apel.
"Pasukan tiba di lokasi sekitar pukul 09.30 WIB. Pasukan langsung ke titik rencana pemasangan di sebelah Timur lahan," kata Wendrizal kepada Tribun Medan, Rabu (5/1/2022).
Baca juga: Dipolisikan Pensiunan Jenderal TNI, Kadishub Depok dan Anggota DPRD Jadi Tersangka di Bareskrim
Dikatakannya pemasangan plang tidak terlaksana karena penggarap tidak mengizinkan.
Saat itu massa masyarakat cukup ramai.
Untuk menghindari gesekan dengan masyarakat, pihaknya tidak jadi memasang plang di titik Timur.
Pihaknya kemudian berangkat ke titik Barat, yakni lokasi perbatasan dengan jalan aspal dan tali air.
Di titik tersebut personilnya berhasil pasang plang.
"Sekitar 10.30 WIB massa semakin ramai dan sebagian besar ibu dan orang tua yang memprovokasi pasukan sehingga terpancing untuk melakukan pemukulan atau tindakan kekerasan," ucapnya.
Pukul 11.30 WIB pasukannya mulai istirahat.
Momen itu pula dimanfaatkan penggarap untuk membuat penghadangan jalan menggunakan batu dan kayu di depan truck Yon Zipur I/DD.
Karena pemasangan plang kedua dan ketiga untuk titik selatan dan timur lokasi tidak dilaksanakan, maka personilnya diperintahkan untuk meninggalkan lokasi.
Sayangnya, dua unit truk mobil Yonzipur I/DD di titik timur tidak bisa meninggalkan lokasi.
Hal ini karena jalan telah diblokir penggarap dengan kayu, batu, dan massa berkerumun.
Masyarakat meminta agar plang yang telah dipasang dicabut.
Di situasi itu, Wendrizal menawarkan beberapa opsi kepada penggarap :
Pertama, penggarap mencabut sendiri plang kepemilikan yang telah didirikan oleh Puskopar "A" BB. Namun penggarap menolak hal tersebut.
Kedua, Puskop Kartika "A" BB akan mencabut plang kepemilikan HGU dengan syarat penggarap juga mencabut plang yang telah didirikan penggarap.
Baca juga: Beredar Kabar Penarikan Uang Insentif Nakes oleh Kesdam Sriwijaya, Ini Reaksi Jenderal TNI Andika
Kala itu tidak ada kesepakatan di antara kedua belah pihak.
Menurutnya, penggarap mulai anarkis dengan melempari personil dengan lumpur.
Pihaknya pun mengejar para penggarap yang dianggap menjadi provokator massa.
Massa pun berhamburan dan personelnya meninggalkan lokasi.
"Tidak ada korban baik dari pihak masyarakat penggarap maupun personel dan pasukan yang bertugas," ujarnya.
Penjelasan Kepala Desa
Konflik yang terjadi ini ternyata sudah lama terjadi dan sampai saat ini kedua belah pihak masih mengklaim masing-masing kepemilikan.
Kepala Desa Seituan, Parningotan Marbun menyebut pihak Puskopad sudah lama meminta agar warga mengosongkan lahan pertanian seluas 65 hektare.
Disebut masyarakat tidak mau bergeser lantaran lahan sudah dikuasai dari zaman kakek neneknya.
"Sesudah jadi bandara ini mereka ngaku-ngaku HGU nya ini. Dulu-dulu nggak pernah diperdebatkan di zaman kakek saya. Semenjak ada bandara ininya seperti ini," ucap Parningotan Marbun.
Ia mengaku sangat menyayangkan kericuhan yang terjadi pada Selasa pagi.
Menurut Parningotan, dalam bentrok tersebut tiga anak-anak juga menjadi korban.
Ia menyebut karena dipijak oknum TNI, korban pun harus dibawa berobat.
"Anak-anak masih SMP dan 13 tahun jadi korban. Karena masyarakat saya dipijak ya saya juga nggak terima. Ini kita mau ngadu ke Komnas Perlindungan Anak juga ini supaya tahu Bapak Aris Merdeka Sirait. Ya saya nggak tahu kenapa bisa sampai gitunya kali, ya mungkin emosi TNI nya," kata Parningotan.
Ia mengaku tidak melihat langsung peristiwa kericuhan karena saat itu ia sedang mengikuti rapat di Polresta Deliserdang.
Saat itu dirinya langsung mendapat telpon terus dari masyarakat.
Setelah dirinya datang, pihak Puskopad TNI AD pun sudah tidak ada lagi di lokasi.
"Kalau sudah diginiin masyarakat saya yang jelas perlu hukum bertindak karena sudah melampaui pemerintah desa mereka bertindak. Sudah dari dulunya dikuasi masyarakat tanah itu. Ada 160an orang juga itu masyarakat yang punya selama ini," kata Parningotan.
Baca juga: Pomal Periksa Anggota TNI AL yang Rumahnya Dikontrak Imigran Gelap
Dikatakannya, masyarakat tidak bersedia meninggalkan lokasi karena 98 persen adalah bekerja sebagai petani.
Hanya dua persen saja masyarakatnya yang bekerja sebagai nelayan.
Ia menyebut sebelum pihak TNI bertindak sudah seharusnya berkoordinasi dulu dengan Pemerintah Desa.
"Apapun ceritanya harus kordinasi dulu baru bertindak. Saya Kepala desa pernah memang diundang cuma saat itu mereka maunya harus mereka yang punya tanah sementara masyarakat ini menyewa sama mereka. Kapan mereka butuh bisa diambil. Minta Supaya dikosongkan masyarakat mana mau," katanya.
(Tribunnews.com/Daryono) (TribunMedan/Goklas Wisel)