Viral Siswa SMA Masuk Jam 5 Pagi, DPR Kritik Pedas dan Tantang Pemprov NTT Kerja dari Subuh
Viral di media sosial para siswa SMA di Kupang masuk jam 5 pagi untuk meningkatkan etos kerja. Para anggota DPR kemudian mengkritik kebijakan itu.
Penulis: Linda Nur Dewi R
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM – Beberapa waktu lalu, viral di media sosial tentang kebijakan siswa SMA di Kupang, NTT masuk pukul 5 pagi.
Rupanya hal ini menjadi kebijakan dari Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat.
Kebijakan tersebut, viral di berbagai media sosial lantaran banyak warganet mempertanyakan keefektifan dari kebijakan itu.
Pasalnya, kebijakan masuk jam 5 ini diharapkan mampu meningkatkan etos kerja dan etos belajar.
Selain itu, banyak beredar di media sosial para siswa di SMAN 6 Kota Kupang datang ke sekolah saat langit masih dalam keadaan gelap.
Mengenai kebijakan tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Hetifah Sjaifudian, memberikan kritikan pedas.
Baca juga: Siswa SMA Masuk Sekolah Jam 5 Pagi di NTT, Kemendikbudristek: Itu Kewenangan Pemda
Menurutnya, jika kebijakan tersebut untuk meningkatkan etos kerja, ia kemudian menantang para pegawai pemprov melaksanakannya terlebih dahulu.
"Kalau mau meningkatkan kerja dengan ngantor Subuh-Subuh, silakan dipraktikkan dulu di kantor pemprov," kata Hetifah, dikutip dari kanal YouTube Tribunnews.com, Rabu (1/3/2023).
Kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi itu, dinilai dapat berdampak bagi kesehatan siswa.
Menuru Hetifah, secara otomatis siswa akan kurang tidur lantaran masuk sekolah terlalu pagi.
Bahkan, ia juga menyebut masuk sekolah terlalu pagi juga disebut kualitas belajar siswa menurun.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Agustina Wilujeng Pramestuti menilai kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT yang mewajibkan SMA/SMK masuk sekolah pukul 05.00 WITA merampas hak siswa dan siswi.
Menurutnya, pukul 05.00 merupakan waktu siswa untuk berkumpul bersama keluarga sebelum melakukan berbagai aktivitas.
"Hak mereka untuk menikmati waktu bersama keluarga, bercanda dengan keluarga, berdiskusi dengan ayah bundanya, dan sarapan bersama keluarga," ujarnya.
Terkait alasan efektivitas, dia menegaskan harus melihat undang-undang (UU) sistem pendidikan yang menyebut tanggungjawab pendidikan ada di tiga titik.
"Sekolah, lingkungan, dan orangtua. Ketiganya memiliki peran yang sama. Maka efektifitas belajar itu ditilik dari 3 titik tersebut," ucap Agustina.
(Tribunnews.com/Linda) (Tribunnews.com/Fersianus Waku/Johnson Simanjuntak)