Angkat Khazanah Sejarah Pangan Indonesia Lewat Film Dokumenter Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu
Berikut ulasan film Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu yang mengangkat khazanah historis sagu yang ada di Pulau Maluku.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah cara bisa dilakukan untuk mengangkat khazanah sejarah pangan Indonesia di berbagai daerah.
Termasuk melalui film dokumenter seperti yang difasilitasi oleh Dana Indonesiana Kemdikbudristek RI dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Karavan Cendekia, Jalak Lawu, dan Universitas Negeri Malang.
Kerja sama lintas lembaga itu berhasil mengemas historis sagu yang ada di Pulau Maluku dalam film dokumenter berjudul Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu.
Produser Pelaksana FX Domini BB Hera menjelaskan, alasan pembuatan di latar belakangi masih minimnya sagu dalam narasi sejarah terkait Pulau Maluku.
Selama ini, pulau tersebut tersohor hanya karena lumbung komoditas rempah-rempah dunia hingga mengundang pelaut-pelaut merapat ke sana.
Padahal dalam proses perniagaan remah-remah ada peran sagu yang sangat penting.
Baca juga: Indonesia Raih Penghargaan Prestisius di Ajang Festival Film Pariwisata di Jepang
"Sagu memainkan peranan sentral yang membuat pelaut Spanyol maupun Portugal bertahan
dua abad lantaran turut mengkonsumsi sagu sebagai pangan lokal setempat," kata BB Hera kepada Tribunnews.com lewat keterangan tertulis, Minggu (19/3/2023).
Pria yang akrab disapa Sisco itu melanjutkan, film ini berdasarkan temuan-temuan riset arsip, kartografi (ilmu peta), bahasa, sejarah, literatur hingga studi lapangan mengenai sagu dan tradisi teknik pengolahannya.
Bahan-bahan tersebut dikemas apik oleh produser film Daya Negri Wijaya dan sutradara Subiyanto selama 28 menit 12 detik.
Sisco menguraikan, film dokumenter ini juga menampilkan beberapa narasumber antara lain Aeni Yusuf, pemilik Usaha Kecil Menengah (UKM) sagu Tagafura Tidore; Ary Budiyanto, antropolog kuliner Universitas Brawijaya; Arfin Abbas.
Kemudian ada juga astrolog penyusun kalender adat dan pamong budaya Tidore Kepulauan, Mukti Hadja Arif, warga Tidore, dan Hadija Alting, produsen forno atau keta Pulau Mare.
"Sementara lokasi pengambilan gambar film berada di Pulau Tidore, Pulau Mare, dan Pulau Ternate," imbuh Sisco.
Untuk peluncuran dan bincang film dokumenter “HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu” diadakan pada Sabtu, 18 Maret 2023 kemarin di Bioskop Movimax Sarinah Kota Malang.
Baca juga: Lima Film Indonesia Diputar di Chengdu-Indonesia Film Festival 2023
Kegiatan ini dibuka dengan sambutan dari Wakil Wali Kota Malang Sofyan Edi Jarwoko; Perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI; Arfin Abbas, Astrolog penyusun kalender adat dan pamong budaya Kota Tidore Kepulauan; Deny Yudo Wahyudi, arkeolog dan Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.
Ulasan film dibawakan oleh Purnawan Basundoro, sejarawan dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya; Lusiana Margareth Tijow, Kepala UPT Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang, dan Moh. Rizki A. Karim, Himpunan Mahasiswa Halmahera Barat di Malang diikuti testimoni beberapa peserta.
Acara ditutup dengan pelantikan kepengurusan baru Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Malang (tahun bakti 2023-2028) yang dipimpin Daya N. Wijaya dan dikukuhkan oleh sejarawan Purnawan Basundoro sekaligus Ketua MSI Jawa Timur.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)