Ipda MKS jadi Tersangka Kasus Persetubuhan Anak di Parigi Moutong, Ditahan di Polda Sulteng
Oknum polisi di Sulteng berinisial Ipda MKS ditetapkan sebagai tersangka kasus persetubuhan anak di bawah umur.
Penulis: Faisal Mohay
Editor: Whiesa Daniswara
Menurutnya unsur pemaksaan, kekerasan hingga ancaman tidak ditemukan sehingga kasus ini tidak dapat dikategorikan kasus rudapaksa.
"Kasus itu terjadi sejak April 2022 sampai dengan Januari 2023 dan dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda-beda," sambungnya.
Dalam kasus persetubuhan anak di Parigi Moutong, polisi telah mengamankan 7 pelaku.
Para pelaku yakni HR (oknum kades), ARH alias AF (oknum guru SD), AK, AR, Ipda MKS, FN (Mahasiswa), K alias DD.
Selain itu, masih ada 3 terduga pelaku yang hingga kini masih buron yakni AW alias AT, AS alias AL dan AK alias AR.
Baca juga: Profil Irjen Agus Nugroho, Kapolda Sulteng yang Disorot dalam Kasus Asusila Remaja di Parigi Moutong
Kata Pengamat
Sementara itu, Konsultan Yayasan Lentera Anak, Reza Indragiri Amriel mengatakan tidak ada istilah rudapaksa dalam UU Perlindungan Anak, tapi yang ada istilah persetubuhan dan pencabulan.
Menurutnya istilah yang digunakan kepolisian dalam kasus ini sudah benar yakni persetubuhan dengan anak.
Sementara pelaku dalam kasus ini dapat disebut dengan pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Ia menambahkan para pelaku dapat dihukum dengan hukuman maksimal karena korban menderita masalah fisik sedemikian serius.
"Terkait nasib pelaku, tidak berat untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada mereka. Termasuk hukuman mati," jelasnya, dikutip dari rilis yang diterima Tribunnews.com.
Korban harus diperhatikan kondisinya setelah mengalami persetubuhan yang dilakukan sejumlah pelaku termasuk salah satunya anggota polisi.
"(Kasus persetubuhan) berlangsung berulang dalam kurun yang panjang dengan modus iming-iming imbalan dan sejenisnya."
"Dengan kondisi seperti itu, penting dicari tahu apakah korban mengalami perkosaan dengan perasaan menderita ataukah biasa saja atau justru menganggapnya sebagai aktivitas transaksional dengan tujuan instrumental (memperoleh keuntungan)," terangnya.
Jika dalam kasus ini korban mendapat imbalan dari pelaku, statusnya tetap korban dan para pelaku tetap harus dipidana.
Untuk menyusun program penanganan kasus ini, perlu adanya pengetahuan tentang kondisi mental korban.
(Tribunnews.com/Mohay) (TribunPalu.com/Rian Afdhal)