Komentar KPAI Soal Dugaan Pelecehan Seksual Anak TK di Pekanbaru yang Dilakukan Temannya
KPAI angkat bicara terkait dugaan kasus pelecehan seksual yang dialami murid Taman Kanak-kanak (TK) berusia 5 tahun di Pekanbaru, Riau.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) angkat bicara terkait dugaan kasus pelecehan seksual yang dialami murid Taman Kanak-kanak (TK) berusia 5 tahun di Pekanbaru, Riau.
Murid TK tersebut diduga dilecehkan oleh teman sekelasnya.
Dikutip dari TribunPekanbaru.com, kasus ini masih bergulir dan ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Pekanbaru.
Komisioner KPAI, Dian Sasmita mengatakan kasus dugaan pelecehan seksual itu begitu memprihatinkan.
Menurutnya, pendidikan pada anak usia dini difokuskan untuk membangun pondasi kualitas anak bangsa dengan mendukung tumbuh kembang anak sesuai tahap perkembangannya.
Dibutuhkan lingkungan pendidikan yang aman bagi anak, termasuk bebas dari segala bentuk kekerasaan.
Dian mengatakan penanganan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dengan anak korban dan anak konflik hukum masih usia di bawah 12 tahun harus merujuk UU SPPA No 11 Tahun 2012 dan PP 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas).
Selain itu, sejumlah pihak dinilai perlu turut serta dalam penanganan dugaan pelecehan seksual terhadap anak.
"Kepolisian tetap melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Peran aktif pekerja sosial, petugas kemasyarakatan penting untuk membantu penyidik mengungkap situasi kerentanan anak apa saja sehingga anak dapat melakukan kekerasaan," ungkapnya.
Juga UPTD PPA harus terlibat untuk memfasilitasi upaya pendampingan dan dukungan pemulihan secara berkelanjutan bagi anak.
"Termasuk menyediakan bantuan hukum dan rehabilitasi medis naik fisik maupun psikis," ungkapnya.
Baca juga: Murid TK di Pekanbaru Diduga Dicabuli Temannya, Kak Seto: Psikolog akan Dampingi Korban
Tak cuma itu, tenaga profesi seperti psikolog juga dinilai sangat penting untuk melakukan rehabilitasi anak, baik korban maupun anak berkonflik hukum.
"Termasuk untuk penguatan keluarga atau orangtua anak," ungkapnya.
Lebih lanjut, Dian mengatakan kekerasaan anak dapat terjadi di mana saja.
"Oleh karena upaya edukasi pencegahan kekerasaan harus dilakukan pemerintah daerah terus menerus di lingkungan pendidikan dan pengasuhan. Masyarakat perlu ditingkatkan pemahamannya tentang jenis-jenis kekerasaan dan bagaimana melakukan respon yang terbaik untuk anak," imbaunya.
Terjadinya kekerasaan seksual di lingkungan PAUD juga menjadi koreksi bagi dinas pendidikan terkait mekanisme pengawasan dinas untuk memastikan setiap lingkungan pendidikan bebas dari kekerasaan.
Adapun sepanjang 2023, KPAI menerima pengaduan pelanggaran hak anak sebanyak 2.656 kasus.
Terdapat 391 anak menjadi korban kekerasaan seksual dan mengalami hambatan keadilan.
Bentuk hambatan keadilan seperti penanganan hukum yang berlarut serta terbatasnya akses korban terhadap layanan pemulihan di daerah.
Selain itu juga korban mendapatkan ancaman/intimidasi.
Pihak Sekolah Dinilai Kurang Kooperatif
Kasus ini rupanya sudah terjadi pada Oktober 2023. Hal itu diungkapkan ayah korban, DF (38).
Namun pihak keluarga baru tahu awal november 2023 ketika korban mengalami perubahan perilaku.
"Dari awal masalah ini muncul, saya bersama istri sudah menjumpai dan menyampaikan kejadian ke pihak sekolah dan kami meminta tanggung jawab, sejak saat itu hingga dua bulan berlalu, pihak sekolah diam saja, tidak ada tindakan pengobatan, terapi dan lainnya terhadap anak saya," kata DF, Jumat (12/1/2024), dilansir TribunPekanbaru.com.
Diceritakan DF, akhirnya ia dan istrinya melakukan pemeriksaan sendiri dengan membawa sang anak ke psikiater dan visum ke RS Bhayangkara.
"Hingga hari ini, pihak sekolah tidak pernah menghubungi, tidak pernah bertanya kabar dan kondisi anak, tidak ada itikad baik menyelesaikan, padahal terjadi di sekolah dan saat jam sekolah," ujarnya lagi.
Menurut DF, tidak ada satupun bentuk tanggung jawab sekolah ke dirinya, istri serta anaknya.
"Malah di awal-awal kami mengadukan dan komplain ke sekolah, pihak sekolah seperti menganggap hal yg terjadi itu biasa, itu jawaban dari Kepala sekolah, malah kami dibilang akan dituntut atas pencemaran nama baik jika tidak terbukti," tambahnya.
Masih dijelaskan DF, setelah beberapa hari sejak pertemuan pertama, istri DF kembali lagi menemui kepala sekolah, bertanya bagaimana masalah yang terjadi namun istri DF malah mendapat tekanan dan ancaman penuntutan pencemaran nama baik lagi dari kepala sekolah.
Sejak DF mengadukan masalah tersebut ke sekolah, terduga pelaku tidak pernah masuk ke sekolah lagi, namun DF menduga pihak sekolah menyembunyikan informasi pelaku dari dirinya.
"Akhirnya kami tahu ternyata anak tersebut sudah bersekolah di tempat lain, masih di bawah naungan yayasan yang sama. Pihak sekolah seakan akan malah mengamankan pihak pelaku, dan lebih mempercayai pernyataan pelaku," ujarnya lagi.
DF pun sudah mengadu ke UPT Perlindungan Perempuan Anak (PPA) Kota Pekanbaru dan diproses, menjalani pemeriksaan, assessment hingga akhirnya dimediasi,.
Pihak korban dan pelaku bersama orang tuanya dipertemukan namun tidak membuahkan hasil yang diinginkan.
"Orang tua pelaku tidak mau bertanggung jawab, malah orangtua pelaku menantang kami untuk proses hukum saja. PPA menghentikan proses aduan kami, padahal sudah jelas, dari hasil pemeriksaan, bukti-bukti, pengakuan si pelaku, jelas-jelas ada tindakan kekerasan seksual yang terjadi," ujar DF.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunPekanbaru.com.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)