Cerita Eet Sjahranie: Modal 'Tape' dari Kakak, Pulang Sekolah Langsung Sok-sokan Ngeband
Tapi saya juga kasih tahu latar belakang, sejarahnya, hero-hero saya, yang kebetulan mereka juga senang. T
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Rachmat Hidayat
Saya ambil nama tiga itu, Van Halen, kemudian Angus Young. Van Halen dengan gitarnya. Kalau Angus Young itu dengan Stage Act-nya. Kalau misalnya Dimebag di tahun 1990an, lebih pada Hardness dan Heavyness. Yngwie suka cuma tidak bisa kayak gitu ha-ha. (Jimi) Hendrix secara tidak langsung iya, karena itu lebih era ke abang saya.
Justru saya dengar istilah underground karena abang saya ngomong ini musik underground. Ternyata bahasa itu kebawa sampai sekarang. Mungkin pada saat itu di dunia dan Amerika musik yang bukan mainstream.
Setelah dikarir Anda sekarang, ingin meninggalkan jejak kepada keluarga untuk mewariskan keahlian Anda?
Wah kalau itu saya terus terang saya orang yang tidak perna terpikir untuk memberikan suatu legacy. Dan kebetulan pula anak-anak saya itu, entah dia melihat contoh, entah apa. Cowok tiga-tiganya bisa main gitar. Tapi tidak saya push untuk menjadi musisi.
Karena alasan sederhana, walaupun tidak menutup kemungkinan mereka melakukan hal yang sama bahkan lebih bagus. Itu mudah-mudahan seperti itu. Tapi saya pribadi tidak ingin mereka terbebani dengan imej ayahnya. Ngajarin saja tidak. Nanya yang teknis mungkin iya. Tapi kalau yang ngajarin lo main gitar harus gini harus gitu tidak.
Mereka mengikuti karya saya. Tapi saya juga kasih tahu latar belakang, sejarahnya, hero-hero saya, yang kebetulan mereka juga senang. Tapi saya tidak mengajari ini caranya, tidak.
Kalau musisi dalam negeri siapa idola Anda?
Sudah jelas Mas Ian Antono. Almarhum Oding Nasution, almarhum Albert Warnerin, lalu Soenatha Tanjung. Itu gitaris-gitaris lawas yang saya idolakan dulunya.
Anda pernah diskusi atau belajar dari mereka?
Yang jelas pengalaman ya. Saya bicara banyak dengan Mas Ian dan Bang Oding. Dua itu sih. Tidak belajar secara formal. Diskusi saja. Karena ketemunya sama-sama industri. Saya masuk industri, ketemu, disitulah kita discuss.
Tidak berencana mendirikan sekolah musik?
Itu kekurangan saya. Sebetulnya banyak yang dulu minta saya untuk ngajar. Saya bilang ini bukan soal mau atau tidak. Pertama, saya merasa tidak punya ilmu. Kalaupun saya ngajar saya harus punya tanggungjawab. Saya harus bikin kurikulum, disiplin sama waktu, nah itu saya tidak punya. Tapi saya tidak pelit ilmu, kalau situ nanya apa yang saya bisa lakuin, saya lakuin. Tapi kalau formil, dari jam sekian sampai jam sekian, harus punya kurikulum. Wah ampun.
Ketika ke Amerika apa yang Anda pelajari?
Sebetulnya saat itu saya ingin sekolah formal. Sekolah umum. Tapi akhirnya harus ambil keputusan, saya tidak mungkin di situ, karena saya tidak punya passion.
Kedua memang secara otak tidak mampu juga. Saya harus ngambil sesuatu untuk dibawa pulang. Waktu itu saya ngambil recording workshop, itu semacam kursus lah.
Ngambil satu tahun. Sebetulnya tujuannya bukan mau menjadi engineering. Tapi saya ingin tahu di rekaman kayak gitu. Jadi kalau pulang ke Indonesia, saya main musik, saya rekaman, saya tahu whats going on di studio.