Men-Tasawwufkan Kedatangan Nikita Mirzani di Pesantren Bina Insan Mulia
Agenda haul dirancang sesuai karaktertistik Pesantren Bina Insan Mulia yang melestarikan beberapa tradisi.
Editor: Husein Sanusi
Men-Tasawwufkan Kedatangan Nikita Mirzani di Pesantren Bina Insan Mulia
Dr. HC. Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence Specialist
TRIBUNNEWS.COM - Setiap kali haul Abah KH. Anas Sirojuddin diperingati (dari haul ke-1 sampai ke-8 ini), beberapa artis ibu kota datang bersama grup band pengiringnya. Mereka hadir untuk mengisi agenda haul tersebut. Pernah datang di antaranya Mel Sandy, Inkra Christie, Lia, dan lain-lain.
Agenda haul dirancang sesuai karaktertistik Pesantren Bina Insan Mulia yang melestarikan beberapa tradisi inti pesantren salaf dan mengakomodasi lompatan inovasi modern di pendidikan.
Karena itu, sebelum acara untuk para artis itu, agenda haul diisi dengan ijazah Dalailul Khairat oleh KH. Imam Jazuli Lc, MA, istighosah bersama para masyayikh dari Universititas Al-Azhar Mesir, tausiyah para tokoh nasional, dan kegiatan lomba seni, olahraga dan sain para santri.
Kali ini, di bagian tertentu dari agenda haul tersebut, saya merasakan ada suasana berbeda dari reaksi masyarakat yang tertuju pada kedatangan artis Nikita Mirzani. Nikita bagi sebagian kalangan dikenal urakan, kontroversial, dan ada yang menyebut bad influencer.
Ketika tampil di panggung bersama KH. Imam Jazuli, Gus Miftah, dan penyanyi Charlie, saya menangkap dari bahasa verbal dan visualnya, Nikita adalah pekerja keras untuk mimpinya dan pemberani—dua personal atribut yang dibutuhkan orang untuk tampil di ruang publik.
Tapi, pertanyaannya, kenapa kok Nikita yang datang ke Pesantren Bina Insan Mulia?
Dakwah Kultural Mendahului Dakwah Doktrinal
Sejak Pesantren Bina Insan Mulia berdiri, KH. Imam Jazuli aktif menjalin komunikasi dan koneksi dengan sejumlah pihak di luar, baik yang sama maupun yang berbeda. Termasuk kelompok para artis, seniman, klub motor Harley, klub mobil Range Rover, Klub Mercy, klub pecinta burung, pecinta keris, dan lain-lain.
Kiai Jazuli menggunakan komunikasi dan koneksi itu untuk menyampaikan nilai-nilai pesantren, kegiatan pesantren, dan kemana para santri diarahkan dalam konteks kepentingan Indonesia masa depan.
Dari langkah ini, gep komunikasi antara pesantren dengan pihak-pihak tertentu akibat salah paham menjadi terjembatani. Bahkan dari saling memahami itu meningkat menjadi saling kerja sama.
Secara strategi, saya melihat kiai yang ‘without -the box thinker’ ini menempuh dakwah kultural mendahuli dakwah doktrinal. Di antara ciri dakwah kultural adalah menggunakan kreasi manusia sebagai instrumen (budaya), terbuka, toleran, mengakomodir keragaman, dan gaya yang mengajak kebersamaam (calling).
Dari pengalaman para pejuang kemaslatahan, dakwah kultural ini lebih mampu menghasilkan kualitas komunikasi yang digambarkan seperti garam. Dalam makanan/minuman, garam memang tidak kelihatan, tapi eksistensinya nyata, merasuk ke dalam, bahkan penentu rasa.