Diskusi Film di Tokyo, Nia Dinata Berbicara Tentang Sensor di Indonesia
Nia punya pengalaman pahit saat menggarap film Three Sisters pada tahun 2016 para pemain dipanggil pihak berwenang karena mengenakan bikini
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNWES.COM, JEPANG - Produser film Indonesia, Nia Dinata, berdiskusi dengan pembuat film Jepang, Yukiko Mishima di Tokyo, Jepang, Minggu (4/11/2024).
Diskusi berfokus tantangan dan kendala yang dihadapi oleh pembuat film khususnya mengenai ketatnya sensor film di Indonesia.
Nia yang merupakan anggota juri untuk bagian Masa Depan Asia juga membagikan pengalamannya dalam menghadapi regulasi film yang ketat di negaranya.
Nia Dinata menceritakan bahwa pengalaman sensornya telah berubah seiring waktu.
"Anehnya, pada tahun 2003, film saya berjudul Arisan! dapat melewati sensor tanpa masalah," ungkapnya.
Dia menjelaskan bahwa saat itu, Indonesia baru saja mengalami reformasi politik yang memberikan harapan baru bagi kebebasan berekspresi.
Namun, keadaan berubah ketika dia menggarap film Shared Love pada tahun 2006.
Baca juga: Garap Film Ini, Nia Dinata Berharap Bisa Memutus Kasus KDRT
Ia mendapatkan peringatan tertulis dan beberapa adegan dipotong secara signifikan.
Dia juga mengingat pengalaman pahit saat menggarap film Three Sisters pada tahun 2016, di mana para pemainnya dipanggil berkali-kali hanya karena mengenakan bikini.
"Akhirnya, film itu dirilis dengan aturan bahwa hanya orang berusia di atas 21 tahun yang dapat menontonnya," tambahnya.
Fakta ini, menunjukkan betapa beratnya persoalan sensor di Indonesia.
Nia Dinata merasa frustrasi karena keinginannya untuk berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia melalui film sering terhambat oleh regulasi yang ketat.
Yukiko Mishima, dalam diskusi ini, memberikan pandangan positif tentang karya Nia.
Dia menyatakan bahwa film Dinata "menggambarkan masalah Islam di Indonesia," namun dia juga merasakan bahwa film tersebut menyampaikan pesan universal yang dapat diterima oleh banyak orang.
"menggambarkan masalah Islam di Indonesia," tambah Mishima.
Ketika ditanya tentang motivasinya untuk terjun ke dunia film, Nia menceritakan pengalamannya di masa sekolah.
"Ketika saya lulus SMA, hanya ada satu film yang dibuat di Indonesia dalam setahun dan ada aturan aneh saat itu bahwa Anda tidak bisa menjadi pembuat film kecuali Anda mendapatkan kualifikasi," jelasnya.
Meskipun mendapat tentangan dari orang tua, Nia tetap mengejar impiannya dengan belajar di sekolah film di New York dan bekerja sebagai asisten sutradara di iklan TV.
Yukiko Mishima juga menghadapi tantangan serupa ketika mengejar karier di dunia film.
"Ketika saya mencoba pergi ke sekolah film, orang tua saya sangat menentang. Namun, ayah saya menyarankan agar saya harus memperoleh pengetahuan dan pendidikan di luar film," katanya.
Dia akhirnya memutuskan untuk belajar psikologi sebelum terjun ke film independen.
Saat ditanya tentang film Jepang favoritnya, Nia Dinata tidak ragu untuk menyebutkan karya-karya Akira Kurosawa seperti Red dan Shoplifters.
Dia juga berbagi bahwa dia mengidolakan anime Ikkyusan, yang dia tonton setiap hari, sambil menyenandungkan melodinya.
Sementara itu bagi para pengusaha UKM Handicraft Indonesia dan pecinta Jepang dapat bergabung gratis ke dalam whatsapp group Pecinta Jepang dan Handicraft dengan mengirimkan email ke: tkyjepang@gmail.com Subject: WAG Pecinta Jepang/Handicraft. Tuliskan Nama dan alamat serta nomor whatsappnya.